Scroll untuk baca artikel
Nasional

Indonesia dan Vatikan Memiliki Kesamaan Pandangan dan Sikap Terhadap Isu-isu Internasional

7
×

Indonesia dan Vatikan Memiliki Kesamaan Pandangan dan Sikap Terhadap Isu-isu Internasional

Sebarkan artikel ini
VATICAN - Tanggal 13 Maret 2025, genap 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia - Takhta Suci. Hubungan kedua negara dimulai dengan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI oleh Takhta Suci pada tahun 1947.

BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Tanggal 13 Maret 2025, genap 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia – Takhta Suci. Hubungan kedua negara dimulai dengan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI oleh Takhta Suci pada tahun 1947.

Pada 6 Juli 1947, Takhta Suci membentuk Apostolic Nunciatura (Delegasi Apostolik) di Indonesia. Keputusan ini, membuka pintu bagi negara-negara lain di Eropa dan Amerika untuk mengikuti jejak Vatikan mengakui kedaulatan Indonesia.

Pada tanggal 13 Maret 1950, Takhta Suci memulai hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan status Internuciatur Apostolik. Statusnya menjadi apostolic nunciature (Nunsiatur Apostolik ) pada tanggal 6 Desember 1966.

Pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI oleh Takhta Suci, di masa kepausan Paus Pius XII tersebut tidak terlepas dari peran diplomasi Mgr Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Keuskupan Agung Semarang, yang merupakan uskup putra Indonesia pertama.

Pada tanggal 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Mgr Georges-Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d’Ardoye MEP sebagai Apostolic Delegatus (utusan apostolik) untuk Indonesia, yang nantinya akan menjadi Dubes pertama Takhta Suci untuk Indonesia. Sementara Sukarjo Wiryopranoto adalah Dubes pertama RI untuk Takhta Suci.

Dengan menempatkan, Mgr de Jonghe d’Ardoye di Indonesia, secara jelas ini mengungkapkan sikap dan posisi Takhta Suci (Vatikan) terhadap negara baru bernama Indonesia yang akan dijajah lagi oleh Belanda, setelah kemerdekaannya.

Baca Juga :   Sukses Temukan Individu Baru di Teluk Cendrawasih, Kini Terdapat 203 Hiu Paus di Whale Shark Center Kolaborasi PIS dan KLHK 

Sepanjang 75 tahun hubungan diplomatik, tiga kali paus mengunjungi Indonesia: Paus Santo Paulus VI (1970), Paus Santo Yohanes Paulus II (1989), dan Paus Fransiskus (2024). Dan, empat presiden Indonesia pernah mengunjungi Vatikan—Presiden Soekarno (1956, 1959, dan 1964) bertemu dengan tiga paus: Paus Pius XII, Paus Santo Yohanes XXIII, dan Paus Santo Paulus VI; Presiden Soeharto (1972); Presiden Abdurrahman Wahid (2000), dan Presiden Megawati Soekarnoputri tiga kali (2002 bertemu Paus Santo Yohanes Paulus II, dan bertemu Paus Fransiskus, 2023 dan 2025).

Pengalaman Unik

Menurut Duta Besar LBBP RI untuk Takhta Suci Michael Trias Kuncahyono, Takhta Suci melihat bahwa Indonesia memiliki pengalaman unik dalam mengembangkan persaudaraan dalam kemajemukan, yang bisa dijadikan contoh bagi bangsa lain. Pancasila dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika,” kesadaran akan keberadaan “Yang Satu” yang menyatukan semua tanpa memandang perbedaan, menunjukkan Indonesia sebagai sebuah negara yang unik.

Hal tersebut juga dikatakan Paus Fransiskus saat melakukan kunjungan apostolik ke Indonesia, September lalu. “Takhta Suci, tidak hanya mengapresiasi hal itu, tetapi juga mengaguminya. Apalagi sekarang ini, di mana banyak negara terpecah-pecah karena perbedaan etnis dan agama,” kata Trias.

Bahkan para Paus, sejak Paus Pius XII (bertakhta 1939 – 1958) hingga Paus Fransiskus, sangat mengagumi Pancasila. Dalam pidatonya di Istana Negara, Paus antara lain mengatakan, “Semboyan nasional Anda Bhinneka Tunggal Ika menggambarkan dengan baik realitas yang beraneka ragam ini, yaitu masyarakat yang beragam yang bersatu dengan kokoh dalam satu negara. Keharmonisan dalam keberagaman mengharuskan setiap orang untuk merangkul semangat persaudaraan dalam mencari kebaikan semua orang. ”

Baca Juga :   Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Wapres KH Ma’ruf Amin dari Kunjungan Kerja ke Abu Dhabi

Sebaliknya, Indonesia memandang Takhta Suci sebagai negara berdaulat tanpa kekuatan militer, tetapi memiliki otoritas spiritual yang jangkauannya melampaui batas negara. Tidak seperti kekuatan tradisional yang menggunakan diplomasi melalui pengaruh ekonomi atau kekuatan militer, Takhta Suci bergantung pada interaksi yang rumit antara persuasi moral, doktrin teologis, dan perjanjian hukum untuk membentuk keterlibatan internasionalnya.

Bagi Takhta Suci diplomasi bukan instrumen negara, betapapun kecilnya, melainkan instrumen institusi keagamaan yaitu Gereja Katolik. Tujuan utamanya adalah dalam tatanan spiritual, moral dan kemanusiaan, termasuk penghormatan terhadap hak asasi manusia kolektif dan individu.

Di antara hak-hak tersebut termasuk hak kebebasan beragama tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi pemeluk agama lain. Dalam hal ini, ada kesamaan.

“Maka hubungan dengan Takhta Suci menjadi sangat khas: tidak ada kerja sama ekonomi, militer, dan juga politik. Tetapi penekannya lebih pada kerja sama dalam bidang kebudayaan, sosial, pendidikan, agama, dan lingkungan hidup,” jelas Trias Kuncahyono

Baca Juga :   Simak Pengaturan Lalu Lintas selama Libur Lebaran Tahun 2024!

Hal tersebut, antara lain yang melatari sekarang ada 1729 biarawan/biarawati Indonesia yang belajar, berkarya, dan memimpin biara di berbagai kota di Italia. Ada biarawati yang berkarya di pendidikan, rumah jompo, yatim piatu, dan mengurusi biara. Sementara para pastor sebagian besar study.

Seiring-sejalan

Menurut Dubes RI untuk Takhta Suci, Indonesia dan Vatikan memiliki banyak kesamaan pandangan, sikap, dan posisi terhadap isu-isu internasional, seperti perdamaian.

Misalnya dal isu Palestina, Yaman, Myanmar, Nigeria, Ukraina, dan berbagai wilayah konflik lainnya. Selain itu juga dalam isu HAM, hak-hak, perempuan dan anak-anak, lingkungan hidup, food security dan juga water security.

Sikap kedua negara dalam isu misalnya, konflik Israel – Palestina, sama dan jelas: mendukung two-state solution. Baik bagi Indonesia maupun Vatikan, two-state solution.

Maka, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci adalah untuk mendukung upaya bersama menegakkan kebebasan beragama, khususnya di Indonesia, yang harus diakui masih ada beberapa catatan.

Selain itu, juga untuk mendorong terciptanya kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, kerukunan umat beragama ini melibatkan pemahaman agama yang menghargai keberagaman agama. Ini ke depan yang harus ditingkatkan di tengah tantangan dunia yang begitu kompleks.