BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengumumkan standar baru untuk penetapan awal bulan Hijriah, yang didasarkan pada kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021.
Dalam keterangan yang dirilis oleh Humas BRIN pada Minggu (10/9/2014), standar baru ini mengenai ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Standar ini mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2022.
Thomas Djamaludin, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Astronomi, menjelaskan bahwa perubahan mengenai kriteria hilal ini akan memengaruhi penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia yang menggunakan metode hisab dan rukiyat.
Menurutnya, metode rukiyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) dalam astronomi dianggap setara dalam menentukan awal bulan Hijriah. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan antara rukiyat dan hisab.
“Metode rukiyat hilal digunakan pada 29 Hijriah untuk mengikuti contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukiyat tepat, arahnya diperhatikan dengan hasil hisab. Hisab dapat digunakan untuk membuat kalender jangka panjang. Agar hisab sesuai dengan contoh Rasul, kriteria ini disesuaikan dengan hasil rukiyat jangka panjang, seperti data visibilitas hilal atau imkan rukiyat (kemungkinan dapat diamati),” jelas Thomas.
Thomas juga menyebutkan bahwa perhitungan ini dapat menyebabkan perbedaan awal puasa tahun ini, namun diprediksi bahwa Idulfitri atau 1 Syawal 1445 Hijriah akan jatuh bersamaan pada 10 April 2024.
“Terdapat perbedaan yang mungkin disebabkan oleh kriteria yang berbeda dan otoritas yang berbeda, namun Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedang berupaya untuk mencapai kesepakatan. Perbedaan ini harus dihormati, namun usaha untuk mencari titik temu harus terus dilakukan,” tambahnya.
Kepala Sub Direktorat Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kemenag, Ismail Fahmi, menekankan bahwa penetapan awal bulan Hijriah dengan standar baru ini lebih bersifat ilmiah dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, pihaknya akan melakukan evaluasi terkait implementasi standar baru ini jika diperlukan.
“Kami berharap bahwa kesepakatan ini dapat menjadi pedoman bagi masyarakat, membawa ketenangan dalam menjalankan ibadah Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah,” ungkap Ismail.
Ismail juga menyarankan agar masyarakat tetap bersatu meskipun ada perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah, karena itu adalah rahmat bagi umat.
“Perbedaan ini adalah rahmat, namun jika kita bisa bersatu dalam perbedaan, itu akan menjadi rahmat yang lebih besar,” tambahnya. (saf/infopublik.id)