BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Di tengah gelombang transformasi digital yang makin masif, banyak perusahaan di Indonesia justru belum siap menghadapi risiko keamanan siber yang semakin kompleks. Meski berbagai sistem berbasis digital telah diadopsi, kesadaran dan kesiapan terhadap ancaman seperti peretasan, kebocoran data, hingga serangan ransomware masih jauh dari memadai.
“Begitu sebuah perusahaan terhubung ke internet, mereka otomatis menjadi target potensial. Sayangnya, banyak yang belum menyadarinya,” ujar Edward, Direktur PT Nusa Network Prakarsa, perusahaan penyedia solusi keamanan jaringan dan IT berbasis di Jakarta.
Menurut Edward, titik lemah utama bukan terletak pada teknologi yang digunakan, melainkan pada rendahnya literasi keamanan digital di internal organisasi. Hal-hal sepele seperti password yang lemah atau kelengahan saat membuka tautan phishing menjadi pintu masuk favorit para peretas.
Masalah lain yang kerap ditemukan adalah anggapan bahwa keamanan siber hanya beban biaya tambahan. Banyak pelaku usaha masih menunda investasi di bidang ini karena merasa sistem mereka sudah cukup aman, atau karena belum pernah mengalami insiden yang serius. Padahal, satu serangan saja bisa menimbulkan kerugian besar — baik dari sisi finansial maupun reputasi.
“Kesadaran ini harus datang dari pimpinan tertinggi, bukan hanya tim IT. Karena yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan bisnis secara keseluruhan,” jelas Edward.
Ia juga menyoroti kecenderungan perusahaan yang menganggap satu sistem keamanan cukup untuk melindungi seluruh infrastruktur digital. Padahal, dengan ancaman yang terus berkembang, pendekatan keamanan siber juga harus dinamis dan disesuaikan dengan kondisi terkini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, PT Nusa Network Prakarsa menawarkan pendekatan menyeluruh yang tidak hanya fokus pada aspek teknis seperti firewall dan endpoint protection, tetapi juga pembentukan budaya keamanan digital yang berkelanjutan. Perusahaan ini membantu klien merancang sistem keamanan berbasis kebutuhan bisnis dan mendampingi dalam menyusun kebijakan internal yang sejalan dengan standar global.
“Kami ingin membangun kesadaran bahwa keamanan siber bukan proyek sekali jalan. Setiap elemen di perusahaan harus paham dan siap menghadapi risiko digital yang terus berubah,” tegas Edward.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara penyedia solusi IT dan perusahaan pengguna untuk menciptakan sistem pertahanan siber yang adaptif dan efisien. “Kami tidak hanya bertindak sebagai vendor, tetapi sebagai mitra jangka panjang. Tujuannya jelas: menjaga keberlangsungan bisnis klien melalui perlindungan digital yang tangguh dan terukur.”
Di era di mana data menjadi aset utama, pendekatan proaktif terhadap keamanan siber tak lagi bisa ditunda. Transformasi digital memang membuka banyak peluang, tapi tanpa perlindungan yang sepadan, risiko yang mengintai bisa jauh lebih besar.