BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Prevalensi penyakit kritis, seperti gangguan sindrom metabolik (jantung, stroke, diabetes, dan kanker), semakin meningkat di kalangan pasien. Gaya hidup tidak sehat dapat menjadi pemicu utama perkembangan penyakit kritis, bersama dengan faktor genetik. Kesibukan sehari-hari, tingkat stres, kurang tidur, dan pola makan tidak terkontrol, termasuk konsumsi berlebihan makanan cepat saji, semakin memperburuk kondisi ini.
Meskipun umumnya diyakini bahwa semakin tua, seseorang semakin rentan terhadap penyakit kritis, kejadian remaja yang mengalami gagal ginjal baru-baru ini membantah mitos tersebut. Angka kejadian penyakit kritis di Indonesia terus meningkat, dan WHO mencatat 10 penyakit paling mematikan, termasuk stroke, jantung, diabetes, tuberculosis (TBC), sirosis hati, paru-paru kronis, diare, hipertensi, infeksi saluran pernapasan, dan neonatal. Data BPJS tahun ini juga menunjukkan bahwa 8 penyakit kritis, seperti jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, hemofilia, thalassemia, leukemia, dan sirosis hati, menyebabkan biaya pengobatan mencapai puluhan triliun rupiah.
Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa penyakit kritis, terutama yang termasuk dalam kategori penyakit tidak menular (PTM), terus menantang Indonesia sejak 2010. Pola asuh, pola gerak, dan pola makan yang tidak sehat, bersama dengan gaya hidup sedentary, kecenderungan makanan cepat saji, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan kurangnya istirahat, menjadi faktor utama peningkatan kasus ini.
Tantangan penyakit kritis semakin kompleks dengan munculnya penyakit baru, disebut emerging infectious disease (EIDs), yang berpotensi menyebabkan kematian massal. WHO mengidentifikasi lebih dari 68.000 jenis permasalahan kesehatan, termasuk 6.172 jenis penyakit langka.
Data klaim dari Generali Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan kasus penyakit kritis pada 2023, dengan kanker payudara, gagal ginjal kronis, sumbatan pembuluh darah jantung, serangan jantung, dan stroke sebagai kasus terbanyak.
Pentingnya asuransi penyakit kritis semakin jelas dengan studi biaya kanker di wilayah ASEAN, yang mencatat beban finansial signifikan bagi pasien setelah 12 bulan perawatan.
Namun, pertanyaan muncul mengenai relevansi produk asuransi penyakit kritis saat ini. Produk asuransi umumnya fokus pada jumlah penyakit tertentu, padahal jumlah penyakit terus bertambah. Apakah produk asuransi penyakit kritis saat ini masih relevan jika suatu saat seseorang didiagnosis menderita penyakit kritis yang tidak termasuk dalam daftar klaim polis? Perlu adanya penyesuaian produk asuransi penyakit kritis dengan perkembangan penyakit dan dunia medis, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pertanyaan pokok muncul: apakah perlindungan yang dibutuhkan berdasarkan daftar penyakit kritis saat ini, atau lebih baik fokus pada perlindungan terhadap sistem organ? Pendekatan terhadap sistem organ dapat memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap semua risiko penyakit kritis dari organ tubuh, tanpa terpaku pada daftar penyakit tertentu. Perlindungan yang komprehensif ini dapat memberikan ketenangan, memungkinkan fokus pada penyembuhan tanpa khawatir terkait biaya.(saf)