Guna mewujudkan cita-cita masa depan berkelanjutan, para peneliti KONEKSI Pilot Grant yang menerima hibah penelitian berfokus pada kebijakan, mitigasi, dan inovasi ketahanan pangan dalam perubahan iklim.
BISNISASIA.CO.ID, YOGYAKARTA – Knowledge Partnership Platform Australia-Indonesia atau KONEKSI adalah program hibah penelitian yang berfokus pada problem relevan terkait kebijakan dan inovasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Hibah riset KONEKSI Pilot ini dibentuk dengan mekanisme konsorsium yang melibatkan para peneliti Indonesia dari Universitas Gadjah Mada, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ARC Training Centre for Future Crops Development, Australian National University (ANU), dan International Rice Research Institute (IRRI).
Dr. Hendry Susila, Peneliti dari ARC Training Centre for Future Crops Development dan Australian National University (ANU) menyatakan ada empat tujuan dari proyek riset KONEKSI dengan tema ‘Membangun Masa Depan yang Berkelanjutan: Mengembangkan Varietas Tanaman yang Bergizi dan Tahan Iklim’.
Pertama, membangun kapasitas para peneliti Indonesia-Australia dalam bidang agri-teknologi yang siap menghadapi perubahan iklim.
Kedua, mendefisinikan dampak dari perubahan iklim, khususnya kekeringan, pada padi berpigmen lokal Indonesia (padi hitam dan padi merah) melalui teknologi biologi molekuler berbasis pendekatan multi-omics.
Ketiga, membangun teknologi pemuliaan padi local Indonesia berbasis metode gene-editing. Terakhir, memetakan lanskap regulasi dan sikap masyarakat terhadap teknologi rekayasa genetika di Indonesia, terutama dalam bidang pertanian.
Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH-PRG) Prof Bambang Prasetya menyatakan di seluruh dunia maupun di Indonesia, sedang menghadapi setidaknya 10 tantangan bencana, dan bencana nomor satu adalah perubahan iklim. Masalah perubahan iklim inilah yang menghasilkan banyak masalah lain dari mulai kekeringan, mengakibatkan kelaparan dan malnutrisi.
“Oleh karena itu, inovasi bioteknologi sesungguhnya menjadi peluang untuk menghadapi ragam masalah tersebut,” ungkap Prof. Bambang.
Lebih lanjut, Prof. Bambang mengakui tantangan dalam pengembangan inovasi bioteknologi pangan di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Ia menilai resistensi masyarakat terhadap produk pangan bioteknologi masih tinggi karena minimnya informasi tentang keamanan dan kualitas produk rekayasa genetika untuk tanaman pangan.
“Maka kehadiran pemerintah dengan regulasi dan panduan rekayasa genetika bisa membantu masyarakat untuk paham dan yakin pada inovasi bioteknologi yang layak dikonsumsi.”
Merespon hal tersebut. Prof. Barry Pogson, Direktur ARC Training Centre for Future Crops Development, Australian National University (ANU) menyatakan peluang untuk membumikan produk rekayasa genetik yang tahan ancaman perubahan iklim makin besar saat ini.
Ia menyebut, 77 persen populasi generasi Z di dunia cenderung berpikiran terbuka terhadap pangan hasil rekayasa genetik.
Kondisi ini dikarenakan kepedulian generasi Z yang lebih peka terhadap masalah perubahan iklim. Oleh karena itu, para peneliti bidang bioteknologi perlu mendapatkan pelatihan dan edukasi tambahan tentang lanskap sosialekonomi wilayah yang dihadapi untuk merumuskan peluang inovasi yang ideal.
“Untuk itu penting dalam riset ini kami mengembangkan sisi saintifik dan perspektif sosial-tradisional lokal terhadap teknologi rekayasa genetik dengan produk padi yang lebih sehat,” tutur Prof. Barry.
Kepala Pusat Studi Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Dr. Yekti Asih Purwestri selaku pemateri ketiga menyatakan dalam penelitian resistensi bibit padi lokal terhadap kondisi kekeringan dapat diteliti dengan metode OMICS (genomics, transcriptomics, metabolomics) untukmengidentifikasi gen yang berperan untuk ketahanan kekeringan di padi. “Maka bisa menggunakan gene-editing technology, untuk membuat padi menjadi lebih tahan terhadap perubahan iklim, khususnya saat terjadi kekeringan,” tutur Dr. Yekti.
Penelitian beras hitam dari metode gene-editing juga mengesankan menurut Dr. Yekti, karena memberikan jaminan tinggi nutrisi dan rendahnya indeks glikemik, sehingga lebih aman dikonsumsi oleh pasien diabetes.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Yudhistira Nugraha menyatakan saat ini BRIN sudah meneliti manajemen pangan berkelanjutan dengan bioteknologi dan rekayasa genetik menjawab ancaman perubahan iklim. Penelitian ini guna menjamin kelengkapan gizi bagi masyarakat.
“Sebelumnya pemanfaatan bioteknologi untuk menjaga ketahanan tanaman pangan dari ancaman hama, kini penelitian diperdalam dengan menguji ketahanan tanaman dari virus. Kemudian ini menjadi menantang karena tanaman pangan yang diuji dari Indonesia punya ciri khas sebagai tanaman negara tropis,” ungkap Dr. Yudhistira.
Sementara itu, Dr. Sung-Ryul Kim dari International Rice Research Institute (IRRI) menambahkan, teknologi untuk gene-editing untuk tanaman padi terus dikembangkan menjadi lebih baik. Harapannya, dengan pengembangan fasilitas penelitian, uji gene-editing untuk menjamin ketahanan dan produktivitas pangan bisa terwujud.
Untuk memfasilitasi proses riset, maka digelar workshop perdana yang bertajuk “KONEKSI Gene Technology: Addressing Climate Changes through Genetic Technology”, di Hotel Grand Rohan Jogja, pada Kamis, 14 Desember 2023 lalu.
“Penyelenggaraan workshop merupakan bagian dari pencapaian tujuan nomor satu yaitu membangun kapasitas peneliti Indonesia-Australia dalam menghadapi perubahan iklim,” ujar Hendry.
Workshop KONEKSI diikuti dengan total peserta lebih dari 90 orang yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi dari berbagai universitas, perwakilan industri bioteknologi, akademisi atau dosen, dan peneliti bidang bioteknologi.
Selanjutnya, tim peneliti akan mengadakan workshop lanjutan pada tahun 2024 yang diselenggarakan di Australia dan Yogyakarta.