Scroll untuk baca artikel
Industri

Lebih dari Sekadar Kopi: Panas Bumi PGE Jadi Motor Ekonomi Sirkular di Kamojang

2
×

Lebih dari Sekadar Kopi: Panas Bumi PGE Jadi Motor Ekonomi Sirkular di Kamojang

Sebarkan artikel ini
Bagi masyarakat Kamojang, kopi adalah identitas dan bukan hanya komoditas, di mana kopi menjadi mata pencaharian utama bagi ratusan keluarga serta bagian dari warisan desa. Namun di balik harum kopinya, para petani menghadapi berbagai tantangan yang menghambat peningkatan produktivitas dan pendapatan. Proses pengeringan kopi yang lambat dan rentan gagal, terutama di musim hujan, membuat kualitas hasil panen menurun dan harga jual tidak optimal. Ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal serta limbah pertanian yang tidak termanfaatkan semakin menambah beban.

BISNISASIA.CO.ID, BANDUNG – Di sebuah kawasan berhawa sejuk di kaki gunung Kamojang, suara mesin pengering berbasis uap menggantikan panas matahari yang kerap tak menentu. Para petani kopi tak lagi bergantung pada cuaca. Mereka menyambut panen bukan dengan cemas, tapi dengan keyakinan baru—berkat teknologi panas bumi yang dihadirkan oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO).

Di sini, energi tak hanya menerangi rumah-rumah, tetapi juga membangun harapan. Panas bumi—yang selama ini dikenal hanya sebagai sumber listrik—telah menjadi penggerak roda ekonomi lokal. Melalui pendekatan ekonomi sirkular berbasis energi bersih, PGE menghadirkan solusi nyata yang memperkuat produktivitas petani, mengurangi limbah, dan membuka pasar kopi Kamojang ke tingkat global.

Transformasi ini diwujudkan lewat dua inovasi unggulan: Geothermal Coffee Process (GCP) dan Geothermal Organic Fertilizer (GeO-Fert). Keduanya mengintegrasikan potensi energi panas bumi dengan kebutuhan utama petani—pengeringan biji kopi dan penyediaan pupuk—dalam sistem pertanian berkelanjutan. Di tengah tantangan perubahan iklim dan fluktuasi harga, solusi ini hadir tepat waktu.

Menurut Direktur Utama PGE, Julfi Hadi, teknologi hanya akan relevan bila menyentuh hidup masyarakat. “Energi panas bumi harus membawa manfaat langsung. Lewat GCP dan GeO-Fert, kami ingin membuktikan bahwa transisi energi bukan hanya agenda nasional, tapi juga bisa mengubah nasib petani di desa,” ujarnya.

Baca Juga :   Kolaborasi BNI dan Amartha Memperkuat Inklusi dan Literasi Keuangan Digital di Kalangan UMKM

Tak sekadar inovasi teknologi, inisiatif ini menjadi model kolaborasi antara energi terbarukan, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pelestarian lingkungan. Hal inilah yang menempatkan program Kamojang sebagai salah satu best practice ekonomi sirkular di Indonesia.

Geothermal Coffee Process: Teknologi Pertama di Dunia untuk Kopi Berbasis Panas Bumi

Teknologi Geothermal Coffee Process memanfaatkan uap buangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang untuk mengeringkan biji kopi secara cepat dan higienis. Jika biasanya proses ini membutuhkan waktu 30–45 hari dan sangat tergantung cuaca, kini hanya perlu 3–10 hari. Hasilnya: kualitas kopi meningkat, proses lebih konsisten, dan aroma khas makin kuat—hingga diminati pasar internasional seperti Jepang dan Jerman.

Selain efisiensi waktu, GCP juga mengurangi risiko kegagalan panen akibat hujan atau jamur. Teknologi ini telah dipatenkan oleh PGE sebagai inovasi pengolahan kopi pertama di dunia yang menggunakan energi panas bumi.

Baca Juga :   Dukung Indonesia International Modest Fashion Festival (IN2MF) 2024 untuk Dorong Modest Fashion

GeO-Fert: Limbah Jadi Pupuk, Hemat Biaya Produksi

Inovasi kedua, Geothermal Organic Fertilizer (GeO-Fert), menjawab kelangkaan dan mahalnya pupuk kimia. Dengan memanfaatkan uap panas bersuhu 60–70°C, proses fermentasi limbah pertanian dan rumah tangga menjadi pupuk organik kini hanya memerlukan 12 jam. Hasilnya mencapai 28,8 ton pupuk organik kering per tahun, dan telah digunakan oleh lebih dari 160 petani lokal.

Inovasi ini tak hanya menurunkan biaya produksi, tapi juga memperkuat praktik pertanian organik yang ramah lingkungan, sekaligus mendukung zero waste dan zero emission.

Dampak Ekonomi: Produksi Kopi Meningkat 60 Kali Lipat

Sejak GCP dan GeO-Fert diterapkan, hasil panen kopi Kamojang melonjak dari hanya 5 kuintal pada 2018 menjadi 30 ton pada 2024. Pendapatan petani naik signifikan:

  • Penjualan green bean naik dari Rp250 juta menjadi Rp560 juta per tahun
  • Penjualan roasted bean naik dari Rp120 juta menjadi Rp180 juta

Petani seperti Nono, mitra binaan GCP, mengaku penghasilan meningkat karena waktu pengeringan lebih singkat dan hasil panen lebih bernilai. “Rasanya khas, ada aroma buah-buahan yang beda dari yang lain,” ujarnya.

Baca Juga :   STAR Market Rayakan Ulang Tahun Kelima dengan Pertumbuhan Mengesankan dan Inovasi Investasi Terbaru

Efisiensi Sosial dan Lingkungan yang Terukur

Menurut analisis Social Return on Investment (SROI) yang diverifikasi oleh UGM, program ini memberikan dampak sosial dan ekonomi sebesar 3,13 kali lipat dari setiap Rp1 yang diinvestasikan. Artinya, manfaat yang dihasilkan mencapai Rp367,5 juta per tahun, dan diproyeksikan meningkat hingga Rp6,3 miliar.

Dari sisi lingkungan, program ini mengurangi emisi karbon hingga 20.000 ton CO₂ per tahun dan mendaur ulang 1,2 ton limbah organik. Dengan prinsip zero conflict, model ini memperkuat ketahanan pangan, menjaga ekosistem, dan mendorong desa menuju ekonomi hijau.

Pengakuan Internasional dan Rencana Replikasi Nasional

Atas keberhasilannya, inisiatif Kamojang telah memperoleh penghargaan seperti:

  • ASEAN Renewable Energy Awards
  • PROPER Emas dari Kementerian LHK
  • Platinum Champion BISRA 2024

PGE menargetkan replikasi model ini di wilayah kerja panas bumi lainnya, sejalan dengan visi untuk mendorong transisi energi yang adil, inklusif, dan berbasis komunitas.