BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), memeriksa Pusat Model Budidaya Nila Salin di Karawang, Jawa Barat, untuk memastikan kesiapan operasional penuhnya tahun ini.
“Saya telah melakukan peninjauan langsung terhadap berbagai blok tambak. Saya bersyukur melihat produksinya yang baik. Kami berharap untuk segera meresmikannya. Saat ini, sekitar 80 hektar tambak budi daya nila salin telah beroperasi dengan baik,” ungkap Menteri Trenggono saat berkunjung ke Pusat Model Budidaya Nila Salin Karawang pada Kamis (25/4/2024).
Menteri Trenggono berharap bahwa Pusat Model Budidaya Nila Salin ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas ekonomi. “Kami berharap agar ikan nila Indonesia dapat bersaing di pasar global dan menjadi yang terdepan. Produksi fillet ikan nila salin dari Pusat Model Budidaya Nila Salin di Karawang ini akan siap dengan kemasan ukuran 700 gram ke atas. Fillet asal Indonesia sangat diminati oleh Amerika Serikat, sekitar 80 persen dari total impor, sedangkan sisanya ke Erora dan Jepang,” jelas Trenggono.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu, bahwa KKP telah menyelesaikan pembangunan model atau proyek percontohan budidaya ikan nila salin seluas sekitar 80 hektar. Diperkirakan akan menghasilkan sekitar 87,7 ton per hektar per siklus dengan masa pemeliharaan sekitar 7-8 bulan.
Dirjen Tebe menjelaskan bahwa KKP bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan teknologi yang mendukung operasional budidaya ikan nila salin di Karawang. Teknologi IoT, yang dikembangkan oleh perusahaan startup lokal, seperti e-Fishery dalam penyediaan alat e-feeder, dan Agree Telkom dalam pengadaan Sensor Pintar Kualitas Air berbasis IoT.
Alat e-feeder digunakan untuk memberikan pakan secara otomatis, sementara Sensor Pintar Kualitas Air berbasis IoT digunakan untuk memantau kualitas air secara real-time melalui perangkat smartphone.
Tebe menjelaskan bahwa keberadaan e-feeder sangat efektif untuk mendukung budidaya ikan intensif. Jumlah dan frekuensi pemberian pakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan pertumbuhan populasi ikan di dalam tambak.
“Pembangunan model ini menggabungkan semua sumber daya, melibatkan semua pemangku kepentingan dan akademisi. KKP terus mendorong semua pihak terkait untuk mendukung pengembangan budidaya ikan nila salin,” tambah Tebe.
Benih-benih nila salin yang digunakan juga memiliki kualitas tinggi dan telah divaksinasi, sehingga lebih tahan terhadap penyakit. Salah satunya adalah varietas Nila Sakti yang diproduksi oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi.
“Di Blok A dan Blok B, kami memiliki 58 petak kolam yang siap untuk dipanen. Sementara di Blok C dan D, terdapat 92 petak kolam yang telah ditebar benih ikan nila salin dan telah divaksinasi dengan perlakuan yang sama,” terangnya.
“Pusat model budidaya ikan nila salin ini dapat menjadi contoh bagi pelaku usaha dan menarik investor untuk mengembangkan budidaya ikan nila salin. Pembangunannya tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan karena kami telah merencanakan dengan baik, termasuk sistem pengelolaan air dan pelestarian hutan mangrove yang terus kami kembangkan,” pungkas Dirjen Tebe.
Peningkatan produksi ikan nila juga merupakan bagian dari upaya untuk memanfaatkan peluang pasar global. Tilapia dari Indonesia telah dikenal karena rasa dan kualitas dagingnya yang unggul dibandingkan dengan ikan sejenis dari negara lain. Hal ini menunjukkan prospek yang cerah untuk budidaya ikan nila salin. “Jika berhasil, KKP akan mencoba menerapkan model budidaya ikan nila salin ini untuk menggantikan tambak-tambak yang tidak terpakai di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura),” tambah Tebe.
Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, M. Tahang, menjelaskan bahwa model budidaya ikan nila salin berbasis kawasan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas budidaya hingga 87,7 ton per hektar per siklus. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tradisional yang hanya mampu menghasilkan sekitar 0,6 ton per hektar per tahun.
Lebih lanjut, Tahang menjelaskan bahwa biaya investasi untuk pembangunan fasilitas sarana prasarana model budidaya nila salin mencapai Rp76 miliar. Dengan produktivitas yang diharapkan mencapai sekitar 7.020 ton per siklus, atau senilai Rp210,6 miliar dengan asumsi harga jual ikan nila salin sebesar Rp30 ribu per kg. Dengan asumsi biaya produksi sekitar Rp24.500 per kg, model ini diharapkan mampu menghasilkan keuntungan sekitar Rp38,6 miliar.
Mengenai benih ikan nila salin yang digunakan di Pusat Model Budidaya Nila Salin Karawang, Dian Hardiantho, Koordinator Budidaya Ikan Tilapia di BBPBAT Sukabumi, menjelaskan bahwa benih yang digunakan adalah varietas Nila Sakti. Jenis ikan nila ini telah resmi dirilis berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 182 Tahun 2023.
Keunggulan dari ikan nila sakti antara lain adalah pertumbuhannya yang cepat dan ketahanannya terhadap bakteri Streptococcus agalactiae dan Aeromonas hydrophila. “Dengan tingkat ketahanan penyakit yang tinggi, ikan nila sakti dapat bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, dengan tingkat ketahanan penyakit yang tinggi, penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan, yang pada gilirannya berdampak positif pada lingkungan,” jelas Dian. (saf/infopublik.id)