BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mengadvokasi kepentingan Indonesia terkait pemberian subsidi perikanan bagi nelayan kecil dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 World Trade Organization (WTO) di Abu Dhabi yang berlangsung pada akhir Februari yang lalu.
Perdebatan mengenai bab subsidies dalam pertemuan tersebut masih terhambat oleh perbedaan pandangan antara kelompok negara maju, negara berkembang, dan LDCs terkait pelarangan pemberian subsidi yang dikhawatirkan dapat menyebabkan kapasitas produksi berlebihan (over capacity) dan penangkapan berlebihan (overfishing). Meski demikian, KKP memastikan akan terus mengupayakan aspirasi ini dalam forum Negotiating Group on Rules (NGR) di Jenewa, Swiss.
“Subsidi untuk nelayan kecil adalah suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia, serta negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang (least developing countries/LDCs),” ungkap Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Budi Sulistiyo melalui keterangan resmi yang diterima pada Sabtu (9/3/2024).
Budi menegaskan bahwa Indonesia konsisten pada posisi bahwa subsidi harus tetap diberikan kepada nelayan yang melakukan penangkapan di wilayah yurisdiksi mereka, tanpa ada batasan waktu maupun geografis.
Selain itu, Indonesia juga mengajak negara maju (big subsidizers) untuk lebih memperhatikan pemberian subsidi terutama terkait praktik penangkapan ikan di perairan yang jauh dari pantai, yang dikenal dengan distant water fishing.
“Praktik ini melibatkan kapal-kapal besar yang berlayar ke perairan terbuka atau kedalaman yang lebih dalam untuk menangkap ikan dalam jumlah besar,” jelas Budi.
Menurutnya, distant water fishing ditandai dengan penggunaan kapal penangkap ikan besar, teknologi canggih seperti radar dan GPS untuk melacak ikan, serta seringkali melibatkan perjalanan jauh dari pelabuhan untuk mencapai lokasi-lokasi perikanan yang produktif.
“Masalah ini menjadi perhatian utama kita mengingat pentingnya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan pencegahan dari eksploitasi berlebihan di perairan terbuka,” tegas Budi.
Sebagai informasi tambahan, pada KTM ke-12 WTO, KKP juga berjuang untuk keadilan bagi nelayan, khususnya yang beroperasi dalam skala kecil. Meskipun mengalami penundaan karena masih terdapat perbedaan pendapat di antara perwakilan negara, konferensi tersebut akhirnya menghasilkan Perjanjian Subsidi Perikanan (Agreement on Fisheries Subsidies) yang mengatur larangan pemberian subsidi untuk stok ikan yang terancam kepunahan dan penangkapan ikan secara ilegal, tidak teratur, dan tidak dilaporkan (IUUF).
KKP menilai perjanjian subsidi perikanan WTO sebagai landasan yang dapat diimplementasikan secara efektif, adil, dan seimbang. Hal ini sejalan dengan mandat perundingan WTO untuk setiap negara anggota agar bertanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya dalam memberikan subsidi perikanan.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, juga menekankan kepada para stafnya pentingnya menjadikan ekologi sebagai prinsip utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, guna mencapai keseimbangan antara aspek sosial dan ekonomi. (saf)