BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) terus berkomitmen mendukung pertumbuhan wirausaha yang ramah lingkungan, khususnya dalam sektor furnitur dan kerajinan, mengingat potensi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyampaikan bahwa hasil riset Kemenkop UKM dan UNDP tahun 2021 menunjukkan bahwa 84 persen pelaku usaha, termasuk dari sektor UMKM, tertarik untuk terlibat dalam bisnis yang berkelanjutan.
Pernyataan tersebut diungkapkan Menteri Teten dalam sambutannya pada acara Annual General Meeting ASMINDO (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia), yang diadakan di Tangerang pada Selasa (27/2/2024).
Sebanyak 58 persen pelaku usaha memulai bisnis dengan tujuan untuk memberikan dampak positif pada lingkungan, sementara 56 persen memproduksi pakaian, produk dengan jejak karbon rendah, dan sistem pengelolaan limbah yang lebih baik.
“Kami percaya bahwa kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga terkait akan membawa kita ke arah masa depan yang lebih cerah,” ujar Menteri Teten melalui keterangan resminya pada Rabu (28/2/2024).
Lebih lanjut, kinerja sektor UMKM dalam bidang furnitur selama tahun 2021-2023 mencapai angka US$2,8 miliar dengan jumlah tenaga kerja langsung mencapai 805 ribu orang. Namun, dalam sektor kerajinan, kinerja masih harus berusaha keras untuk dapat menandingi sektor kuliner atau fesyen.
Salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh KemenKopUKM untuk mendukung wirausaha berkelanjutan dalam sektor furnitur dan kerajinan adalah dengan mendirikan Rumah Produksi Bersama (RPB) komoditas rotan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
RPB ini berfungsi sebagai tempat pengolahan bahan baku rotan menjadi bahan setengah jadi (Fitrit, Poles) dan Furnitur. Selain itu, juga dibangun RPB di Labuan Bajo, NTT untuk memproduksi bambu laminasi sebagai alternatif pengganti kayu.
“Kami bersama Pemda NTT akan mengembangkan lahan sekitar 100 ribu hektar (untuk budidaya bambu). Ini adalah potensi yang sangat besar untuk pengembangan dan produksi material furnitur,” ujar Menteri Teten.
Meskipun potensi ekonomi dari produk furnitur dan kerajinan ramah lingkungan sangat menjanjikan, namun masih ada beberapa kendala yang perlu diatasi. Kendala utama meliputi ketersediaan bahan baku dan biaya logistik yang tinggi.
Untuk mengatasi masalah ini, Menteri Teten mengajak seluruh pihak terkait untuk mencari solusi bersama demi kelangsungan dan pertumbuhan sektor ini.
Di sisi lain, dalam hal pemasaran, pemerintah juga aktif memfasilitasi dan mendukung berbagai pameran seperti Industri Furniture IFFINA oleh ASMINDO, KRIYANUSA oleh Dekranas, IFEX oleh HIMKI, dan SAEXPO 2023.
Selain itu, upaya pengembangan Indonesia Trading House (ITH) di China dan Singapura juga telah diinisiasi untuk mengembangkan pasar internasional.
“Langkah-langkah ini diharapkan dapat memastikan ketersediaan bahan baku, memperkuat pasar domestik, dan meningkatkan ekspor yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada perekonomian daerah dan negara,” ujar Menteri Teten.
Sementara itu, Ketua Umum ASMINDO Dedy Rochimat mengkonfirmasi bahwa permintaan terhadap produk furnitur dan kerajinan ramah lingkungan di pasar internasional terus meningkat. Pada tahun 2022, permintaan untuk furnitur ramah lingkungan mencapai angka US$51,02 miliar.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan dan produksi furnitur terbesar di dunia. Kita memiliki kekayaan alam yang melimpah di 17 ribu pulau, terutama dalam hal ketersediaan bahan baku furnitur yang berkelanjutan,” ujar Dedy.
Menurutnya, permintaan untuk furnitur di Kawasan Asia diperkirakan akan mencapai angka US$179,20 miliar pada tahun 2024, di mana sekitar 5,23 persen atau US$9,37 miliar di antaranya disumbang oleh permintaan furnitur ramah lingkungan.
Dengan potensi pasar yang besar ini, Indonesia perlu merespons dengan membentuk pusat riset dan produksi furnitur ramah lingkungan di kawasan-kawasan industri, termasuk di Indonesia.
Dedy menekankan bahwa Indonesia perlu menetapkan target bersama dan merancang langkah-langkah konkret untuk meningkatkan nilai ekspor furnitur dan kerajinan ke pasar global, mencapai 1 persen dari pasar dunia atau sekitar 7 miliar dolar AS per tahun.
“Kolaborasi dan sinergi dari semua pihak adalah kunci utama,” kata Dedy.
Chairman of Council of Asia Furniture Associations (CAFA) Xu Xiangnan menegaskan bahwa menjalankan bisnis secara berkelanjutan merupakan keharusan untuk masa depan umat manusia. Oleh karena itu, CAFA siap bermitra dengan lembaga pemerintah, organisasi industri, dan perusahaan komersial untuk tumbuh bersama di kawasan Asia Pasifik.
“Kami berkomitmen untuk mewujudkan ide pengembangan ramah lingkungan dan rendah karbon untuk membuat industri furnitur Asia sebagai contoh yang baik dalam menerapkan inovasi bambu sebagai pengganti plastik,” ujarnya.(saf/infopublik.id)