Scroll untuk baca artikel
Headline

Tropical Forest Forever Facility: Skema Pembiayaan Inovatif untuk Melestarikan Hutan Tropis dan Mendukung Masyarakat Adat

3
×

Tropical Forest Forever Facility: Skema Pembiayaan Inovatif untuk Melestarikan Hutan Tropis dan Mendukung Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini

JAKARTAPeristiwa bencana alam banjir yang meluluh lantakkan daerah Sumatera dalam hal ini kawasan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat menjadi bukti sudah semakin masifnya kerusakan atau gundulnya hutan didaerah tersebut yang berdampak rusaknya ekosistem lingkungan dan masyarakat adat disekitar.

Berdasarkan keprihatinan hal itu, hadir sebuah inisiatif mekanisme pendanaan inovatif bernama Tropical Forest Forever Facility (TFFF) diusulkan sebagai terobosan baru dalam pembiayaan konservasi hutan tropis. Adanya sistem pendanaan ini dalam upaya menjaga kelestarian konservasi hutan tropis dan masyarakat adat.

Skema blended finance ini dirancang untuk menghimpun basis modal sebesar USD 125 miliar, dengan menggabungkan pendanaan publik dan swasta untuk makin memperkuat upaya pelestarian hutan sekaligus memberikan dukungan langsung kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs).

Melalui portofolio pendapatan tetap, TFFF menargetkan menghasilkan imbal hasil tahunan sebesar USD 3–4 miliar, yang akan digunakan sebagai pembayaran berkala kepada negara-negara pemilik hutan tropis. Pembayaran tersebut berbasis kinerja, di mana kondisi hutan dipantau secara ketat melalui sistem penginderaan jauh dan teknologi satelit.

Selanjutnya, negara penerima pun wajib mengalokasikan minimal 20% dana tersebut untuk mendukung IPLCs, sementara sisanya ditujukan bagi kebijakan dan program konservasi di tingkat lokal.

TFFF menargetkan USD 25 miliar pembiayaan publik yang akan membuka tambahan USD 100 miliar pendanaan dari sektor swasta. Hingga kini, negara Brasil, Indonesia, Prancis, Jerman, dan Norwegia telah berkomitmen memberikan total USD 6,7 miliar sebagai modal awal fasilitas ini.

Dari perspektif kebutuhan nasional, Peneliti WRI Indonesia Sita Primadevi mengungkapkan bahwa kebutuhan pembiayaan konservasi hutan di Indonesia mencapai IDR 25–33 triliun per tahun.

Sementara itu, pembiayaan publik yang tersedia baru sekitar IDR 2,6 triliun per tahun, sehingga terdapat kesenjangan pendanaan sebesar IDR 22,4–30,6 triliun per tahun.

“Melalui TFFF, Indonesia pun berpotensi memperoleh sekitar IDR 6,3 triliun per tahun sebagai pembayaran berbasis kinerja, apabila menjadi negara penerima manfaat,”ujarnya dalam sebuah diskusi di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).

Baca Juga :   YeePay Tampil di ITB Berlin 2025: Bangun Jembatan Digital untuk Sektor Pariwisata Dunia Lewat Solusi Pembayaran

Akan tetapi, untuk dapat menerima pembayaran TFFF, negara penerima diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain: pertama Mempertahankan laju deforestasi tahunan di bawah 0,5%; lalu kedua memiliki mekanisme Public Financial Management (PFM) yang memadai

Tak ketinggalan, poin ketiga mengalokasikan sedikitnya 20% dari pembayaran kepada IPLCs dan terakhir Memastikan dana TFFF bersifat tambahan dan tak menggantikan alokasi anggaran yang sudah ada.

Selain itu, poin keempat adanya kesiapan nasional yang mencakup beberapa aspek krusial, seperti adanya penguatan kapasitas pengelolaan keuangan publik, adanya penerapan standar pemantauan hutan yang ketat dan konsisten, pengakuan dan pendataan hak-hak masyarakat adat, serta penetapan prioritas kebijakan yang jelas dan terarah.

“TFFF diharapkan dapat menjadi katalis penting untuk mempercepat aksi iklim, melindungi hutan tropis yang tersisa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat serta komunitas lokal yang selama ini menjadi penjaga utama ekosistem hutan,”ungkapnya.

Alhasil, dengan dukungan internasional yang kuat dan komitmen nyata dari negara-negara pemilik hutan, fasilitas ini diyakini mampu mendorong transformasi besar dalam pembiayaan konservasi global sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat di Indonesia.