BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Social listening kian menjadi instrumen strategis menjelang 2026, di tengah lingkungan bisnis dan kebijakan yang semakin kompleks, cepat berubah, dan penuh ketidakpastian.
Dinamika ekonomi global, perubahan lanskap politik, serta ekspektasi publik yang bergerak cepat di ruang digital membuat proses pengambilan keputusan tidak lagi dapat bergantung pada laporan historis dan intuisi semata.
Dalam konteks ini, social listening berperan sebagai alat bantu utama bagi eksekutif, investor, dan pembuat kebijakan untuk memahami arah pasar, percakapan publik, serta sentimen masyarakat secara real time.
Percakapan di media sosial kini menjadi indikator awal perubahan perilaku konsumen, preferensi investor, hingga tingkat penerimaan publik terhadap kebijakan dan inovasi.
Melalui analisis jutaan percakapan digital secara real time, organisasi dapat memperoleh gambaran utuh tentang apa yang sedang dipikirkan, dirasakan, dan diharapkan oleh publik.
Direktur PT Social Cerdas Indonesia (Social Quotient), Manbir Chyle, menegaskan bahwa social listening telah berkembang menjadi alat pembacaan risiko dan peluang di level strategis.
“Di era yang tidak menentu, keputusan yang baik adalah keputusan yang berbasis pemahaman terhadap realitas publik,” ujar Manbir.
“Social listening membantu para eksekutif melihat sinyal-sinyal awal perubahan sentimen pasar dan masyarakat, sehingga strategi bisnis, investasi, maupun kebijakan dapat disusun secara lebih presisi,” tambahnya.
Dalam dunia bisnis dan investasi, data percakapan publik sering kali menjadi indikator awal sebelum perubahan tercermin dalam laporan keuangan atau data makro.
Sentimen terhadap sektor industri tertentu, respons publik terhadap kebijakan ekonomi, serta persepsi atas inovasi produk terbukti memengaruhi kepercayaan pasar secara signifikan.
Dengan memanfaatkan social listening, perusahaan dan investor dapat menyesuaikan strategi ekspansi, alokasi modal, dan manajemen risiko secara lebih proaktif.
Manbir menekankan bahwa banyak keputusan strategis kini ditentukan oleh kemampuan membaca arah sentimen, bukan sekadar melihat angka masa lalu.
“Social listening memberi konteks di balik data. Ia membantu menjelaskan mengapa sebuah sektor mendapat dukungan publik atau mengapa suatu kebijakan memicu resistensi,” jelasnya.
Pemahaman tersebut dinilai krusial bagi eksekutif dalam menyiapkan strategi jangka menengah dan panjang menuju 2026.
Selain dunia usaha, social listening juga semakin relevan dalam perumusan kebijakan publik.
Pemerintah dan regulator dapat memanfaatkan analisis sentimen untuk memahami tingkat penerimaan masyarakat, mengidentifikasi isu sensitif, serta menyusun strategi komunikasi kebijakan yang lebih efektif.
Dengan pendekatan ini, kebijakan publik tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga responsif terhadap dinamika sosial yang berkembang.
Dalam praktiknya, social listening telah digunakan untuk membaca potensi pasar sebelum ekspansi, mendeteksi risiko reputasi sejak dini, serta mengevaluasi respons publik terhadap program strategis.
Di ranah politik dan advokasi, analisis percakapan digital juga membantu menyusun narasi kampanye yang lebih relevan dengan isu yang benar-benar dirasakan masyarakat.
“Percakapan digital adalah cerminan paling jujur dari persepsi publik hari ini,” tutup Manbir.
“Ketika dikelola dan dianalisis dengan tepat, data tersebut menjadi fondasi keputusan yang lebih rasional, adaptif, dan berkelanjutan.”











