BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Dunia mungkin akan segera menghadapi paradoks teknologi: kecerdasan buatan (AI), yang digadang-gadang sebagai pendorong efisiensi masa depan, kini justru menjadi salah satu konsumen energi terbesar secara global.
Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Joule oleh Alex de Vries-Gao, peneliti Vrije Universiteit Amsterdam, mengungkap bahwa AI dapat menyerap daya hingga 23 gigawatt pada akhir 2025—angka yang menyaingi konsumsi listrik nasional Inggris Raya dan melampaui penambangan Bitcoin global.
AI Meningkat, Beban Energi Melejit
Dikutip dari TechSpot, ledakan AI generatif telah memicu pembangunan besar-besaran pusat data dan produksi akselerator AI dari raksasa teknologi seperti Nvidia dan AMD.
Perangkat seperti Nvidia H100, yang digunakan secara luas dalam pelatihan model AI canggih, mengonsumsi hingga 700 watt secara terus-menerus. Dalam skala jutaan unit, kebutuhan daya kumulatif menjadi mengejutkan.
Pada 2023–2024 saja, perangkat keras yang diproduksi diperkirakan akan memerlukan 5,3 hingga 9,4 gigawatt, cukup untuk menyalakan seluruh Irlandia.
Dengan ekspansi lanjutan—seperti rencana TSMC untuk menggandakan kapasitas teknologi pengemasan CoWoS pada 2025—proyeksi konsumsi listrik AI bisa menyentuh 23 GW.
AI Segera Kalahkan Penambangan Bitcoin
Untuk pertama kalinya, AI diperkirakan melampaui konsumsi daya penambangan Bitcoin, yang selama ini menjadi simbol energi intensif dalam ranah digital.
Bahkan menurut proyeksi terbaru, konsumsi daya sistem AI bisa mendekati atau melebihi gabungan konsumsi listrik negara-negara seperti Swiss, Finlandia, Belanda, hingga Austria.
Hal ini menjadi perhatian serius badan-badan energi global, termasuk International Energy Agency (IEA), yang memperingatkan potensi pelipatan dua kali lipat konsumsi listrik pusat data dalam dua tahun ke depan.
Efisiensi Tak Cukup Redam Ledakan Permintaan
Walau teknologi semakin efisien dan transisi ke energi terbarukan meningkat, skala dan kompleksitas perangkat keras AI mengimbangi bahkan melampaui semua upaya efisiensi.
Model yang semakin besar dan kompleks menuntut komputasi yang lebih besar, menciptakan siklus konsumsi energi tanpa henti.
“Setiap loncatan efisiensi chip AI, dibarengi dengan lonjakan jumlah perangkat dan kekuatan pemrosesan,” tulis de Vries-Gao dalam laporannya.
Dalam banyak kasus, bahkan perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, atau Amazon Web Services tidak transparan soal konsumsi energi AI mereka.
Oleh karena itu, studi ini mengandalkan estimasi triangulasi dari spesifikasi chip, kapasitas produksi, dan pengiriman perangkat keras untuk mengukur dampaknya.
Tantangan Global yang Mendesak
Meskipun peningkatan AI membawa peluang besar di sektor medis, pendidikan, dan produktivitas, pertumbuhan tidak terkendali tanpa strategi energi yang jelas bisa membawa risiko besar terhadap komitmen iklim global dan stabilitas jaringan listrik nasional.
Jika tren ini terus berlanjut, dunia bisa dihadapkan pada dilema besar: memilih antara inovasi AI yang agresif atau menjaga keberlanjutan energi dan iklim.