BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Menjelang diberlakukannya Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada akhir 2025, sebagian besar rantai pasok agribisnis global masih belum siap.
Berdasarkan analisis Forbes 2025, hanya 30% perusahaan hulu dan 12% perusahaan hilir yang telah memiliki sistem ketertelusuran atau traceability untuk memverifikasi komoditas bebas deforestasi. Rendahnya adopsi ini menimbulkan risiko besar terhadap akses pasar ekspor, terutama ke Uni Eropa.
Salah satu tantangan utama dalam kepatuhan terhadap EUDR adalah menjaga segregasi—pemisahan fisik dan prosedural—antara komoditas yang patuh dan tidak patuh terhadap regulasi. Kegagalan dalam memisahkan hasil panen dari lahan yang tidak patuh atau tidak diketahui asal-usulnya dapat menyebabkan penolakan produk di pasar Uni Eropa.
KOLTIVA, perusahaan AgriTech Swiss-Indonesia yang berfokus pada keberlanjutan dan ketertelusuran, menegaskan pentingnya segregasi sebagai pilar utama dalam memenuhi EUDR. Melalui pendekatan berbasis teknologi dan pendampingan lapangan, KOLTIVA mengembangkan aplikasi KoltiTrace yang membantu perusahaan menerapkan segregasi dan ketertelusuran dari titik panen hingga ekspor.
Komoditas dari Petani Kecil Terancam Tersisih
Menurut Andre Mawardhi, Senior Manager Agriculture and Environment di KOLTIVA, penerapan segregasi menjadi sangat kompleks dalam rantai pasok yang melibatkan petani kecil.
Banyak petani mengelola lebih dari satu lahan, dengan status kepatuhan yang berbeda. Risiko pencampuran sangat tinggi, terutama jika belum ada pelatihan dan protokol pemisahan yang jelas.
“Beberapa perusahaan cenderung menghindari sumber dari petani kecil karena dianggap rumit. Namun, ini bisa meminggirkan komunitas yang justru berperan penting dalam produksi komoditas berkelanjutan,” ujar Andre.
Langkah Sistematis untuk Segregasi dan Ketertelusuran
KOLTIVA mengusulkan empat langkah utama untuk membantu perusahaan dan petani mematuhi EUDR secara inklusif:
- Verifikasi Kepatuhan dan Dokumentasi
Meliputi pemetaan legal lahan, bukti bebas deforestasi, serta kepatuhan terhadap standar lingkungan, sosial, dan tata kelola. - Penerapan Sistem Ketertelusuran Digital
Melalui aplikasi KoltiTrace, pelaku rantai pasok dapat melacak sumber komoditas berbasis spasial, risiko, dan verifikasi lapangan. - Penguatan Infrastruktur Segregasi
Gudang terpisah, kendaraan transportasi khusus, dan sistem pelabelan wajib digunakan untuk mencegah pencampuran. - Pelatihan dan Pemantauan Rutin di Lapangan
Edukasi dan pendampingan kepada petani, pengepul, dan pemasok untuk menerapkan segregasi yang efektif dan konsisten.
Komitmen Inklusif untuk Keberlanjutan
Indryani Bali, Project Leader sektor karet di KOLTIVA, menekankan bahwa segregasi tidak boleh menjadi alasan untuk mengecualikan petani kecil.
“Kami memperkuat kapasitas lokal agar pelaku hulu tidak tertinggal. Dengan sistem real-time dan pelatihan berkelanjutan, petani tetap bisa menjadi bagian dari rantai pasok yang patuh.”
Hal ini diamini Rahman Sarwono, petani karet dari Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Ia menyatakan bahwa pemetaan dan pelatihan dari KOLTIVA sangat membantunya memahami mana kebun yang sudah patuh dan mana yang belum. “Kami ingin patuh, tapi butuh bimbingan. Tanpa arahan yang jelas, kesalahan kecil bisa membuat kami kehilangan pasar sepenuhnya.”
Menuju Rantai Pasok yang Tertelusur dan Inklusif
Menjelang pemberlakuan EUDR, segregasi dan ketertelusuran harus menjadi prioritas utama perusahaan. Tanpa langkah konkret, banyak pelaku agribisnis berisiko kehilangan pasar, reputasi, dan peluang pertumbuhan.
Namun dengan pendekatan inklusif seperti yang dilakukan KOLTIVA, pelaku rantai pasok—termasuk petani kecil—dapat bersinergi menjaga keberlanjutan dan akses pasar global.