BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Pertumbuhan investor aset kripto di Indonesia terus menunjukkan tren positif. Hingga April 2025, jumlah pengguna aset kripto tercatat mencapai 14,16 juta orang, naik dari 13,71 juta pada Maret.
Namun, di balik lonjakan ini, muncul kekhawatiran akan rendahnya tingkat literasi keuangan digital masyarakat.
Hal tersebut tercermin dalam hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, di mana aset kripto mulai dikategorikan dalam kelompok Lembaga Jasa Keuangan Lain sebagai bagian dari Data Nasional Keuangan Inklusif (DNKI).
Meski menjadi pengakuan penting atas kehadiran kripto dalam ekosistem keuangan nasional, belum ada pengukuran spesifik terhadap indeks literasi kripto secara mandiri.
Secara umum, indeks literasi keuangan nasional berada di angka 66,64%, sedangkan indeks inklusi keuangan telah mencapai 92,74%.
Namun, sektor nonkonvensional seperti keuangan syariah dan kripto dinilai masih menghadapi tantangan besar dalam hal literasi. Sebagai gambaran, literasi keuangan syariah saja baru menyentuh 43,42%.
Risiko Literasi Minim di Tengah Ledakan Investor
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyoroti kesenjangan antara pertumbuhan jumlah investor dan pemahaman masyarakat terhadap aset digital.
“Antusiasme masyarakat terhadap kripto terus meningkat, tapi ini belum diimbangi dengan literasi yang memadai. Literasi yang rendah justru bisa memperbesar risiko, khususnya bagi investor pemula,” ujar Calvin.
Tokocrypto, sebagai salah satu pelaku industri, disebut terus memperkuat peran edukatifnya melalui program inklusif dan berkelanjutan yang menjangkau komunitas, kampus, hingga daerah-daerah.
Transaksi Naik, Tapi Pemahaman Masih Belum Merata
Selain pertumbuhan jumlah investor, nilai transaksi kripto di Indonesia juga meningkat, dari Rp32,45 triliun pada Maret menjadi Rp35,61 triliun pada April 2025. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat 1.444 aset kripto yang telah terdaftar di Indonesia.
Namun, data SNLIK juga menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman belum merata. Meski kelompok usia 18–35 tahun memiliki indeks literasi keuangan yang lebih tinggi (sekitar 73–74%), pemahaman terhadap kripto masih menjadi tantangan, terutama di wilayah nonperkotaan, kelompok usia lanjut, dan masyarakat berpendidikan rendah.
“Jika kripto ingin menjadi bagian dari sistem keuangan nasional yang sehat, maka literasi harus menjadi prioritas. Inklusi tanpa literasi hanya akan menimbulkan risiko sistemik,” tegas Calvin.
Belajar dari Negara Lain
Calvin juga menilai pentingnya kolaborasi antara sektor swasta, regulator, dan institusi pendidikan dalam membangun ekosistem edukasi kripto yang kuat.
Sebagai contoh, negara seperti Singapura telah lebih dulu mengintegrasikan materi kripto dan blockchain ke dalam kurikulum formal, seperti melalui kursus di National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU). Pemerintah Singapura, lewat Monetary Authority of Singapore (MAS), turut mendukung pendekatan ini sebagai bagian dari transformasi keuangan digital nasional.
“Indonesia bisa belajar dari pendekatan negara lain dalam memperkuat edukasi kripto. Pertumbuhan investor harus diiringi dengan pemahaman yang benar dan berkelanjutan,” pungkas Calvin.