BISNISASIA.CO.ID, DUBAI – Dunia fisik dan digital semakin saling terhubung setelah sejumlah terobosan tercapai dalam bidang kecerdasan buatan (AI), 5G-A, dan komputasi awan. Konvergensi ini, dijuluki Revolusi Industri Keempat, merombak dunia bisnis dan mempercepat pertumbuhan global.
Bahkan, dalam lima tahun mendatang, digitalisasi dan teknologi pintar akan berkontribusi sebesar 70% terhadap pertumbuhan ekonomi dunia1]. Mulai dari kota pintar (smart city) yang mengoptimalkan penggunaan energi hingga diagnostik medis yang didukung AI, dampak transformasi ini telah mengubah masyarakat. Menyadari berbagai peluang tersebut, lebih dari 170 negara kini telah merumuskan strategi nasional untuk mencapai transformasi digital yang digerakkan AI.
Keterkaitan antara kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi merupakan jalur yang sering ditempuh. Mulai dari mesin uap hingga lini perakitan, setiap revolusi industri telah merombak perekonomian. Namun, revolusi digital saat ini memiliki dampak yang sangat masif karena pesatnya laju inovasi, serta berpengaruh luas terhadap cara kerja perusahaan.
Global Digitalization Index atau GDI, baru saja dirilis bersama IDC, mengukur tingkat kemajuan transformasi digital di berbagai negara. GDI juga menunjukkan keterkaitan antara tingkat perkembangan TIK sebuah negara dengan tingkat kesejahteraan ekonomi.
Lebih penting lagi, riset ini mengungkapkan, investasi strategis pada infrastruktur digital mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana negara-negara dengan tingkat perkembangan teknologi digital yang berbeda-beda dapat memanfaatkan transformasi tersebut guna memajukan perekonomian.
Tingkat Perkembangan Teknologi Digital
Laporan GDI 2024, melanjutkan Global Connectivity Index, melibatkan riset bersama akademisi dan pakar, serta mencakup 77 negara yang mewakili 93% PDB dunia dan 80% populasi dunia. GDI menggolongkan negara-negara dalam tiga klaster: Frontrunner, Adopter, dan Starter. Setiap klaster ini mencerminkan tingkat perkembangan teknologi digital yang berbeda-beda. Negara-negara frontrunner, antara lain Amerika Serikat, Tiongkok, serta Singapura, memiliki ubiquitous connectivity dan landasan digital terbaik. Sementara, negara-negara adopter seperti Spanyol dan Malaysia meningkatkan kapabilitas digital dengan cepat. Negara-negara starter, seperti Vietnam, tengah membangun pondasi masa depan teknologi digital.
Kesenjangan investasi yang kian lebar dalam infrastruktur digital sangat terlihat jelas. Pada periode 2019-2023, rasio pertumbuhan investasi infrastruktur digital di antara negara-negara Frontrunner, Adopter, dan Starter mencapai 18:3:1. Pertumbuhan investasi infrastruktur digital di ketiga kelompok negara tersebut masing-masing tercatat US$7,2 miliar, US$1,1 miliar, dan US$400 miliar per tahun. Kesenjangan ini bukan sekadar angka–melainkan, sangat mencerminkan jalur ekonomi yang berlawanan dari setiap negara. Menurut riset ini, setiap investasi bernilai $1 dalam transformasi digital mendatangkan imbal hasil US$8,3 untuk ekonomi digital sebuah negara.
Efek Dividen Digital
Laporan ini juga menyajikan sebuah temuan penting: bagi negara-negara Frontrunner, kenaikan satu poin skor GDI mencerminkan kenaikan PDB per kapita senilai US$945. Dampak ekonomi yang dialami negara-negara Frontrunner ini 2,1 kali lipat lebih tinggi dari negara-negara Adopter, dan 5,4 kali lipat lebih tinggi dari negara-negara Starter. Fenomena ini merupakan efek dividen digital.
Namun, apa faktor yang menghasilkan efek tersebut? Jawabannya terletak pada dinamika ekosistem pada ekonomi digital yang telah berkembang dengan baik. Di negara-negara Frontrunner, ekosistem digital telah terbangun sehingga berbagai teknologi seperti AI, IoT, dan komputasi awan saling beroperasi.
Ekosistem ini mendorong efek jaringan, terutama ketika nilai tambah layanan digital terus bertambah besar setelah pengguna atau koneksi baru muncul. Lebih lagi, akumulasi dan pemanfaatan data secara pintar ikut mendorong laju inovasi, mengungguli negara-negara dengan teknologi digital yang belum berkembang.
Misalnya, Pelabuhan Tianjin, Tiongkok. Pelabuhan ini mengintegrasikan 5G, komputasi awan, AI, dan energi hijau sehingga mewujudkan terminal pintar dan nol karbon. Transformasi digital ini mempersingkat durasi bongkar muat kontainer antarkapal hingga 50%, serta memangkas konsumsi energi hingga 17% dibandingkan terminal pelabuhan konvensional. Hal tersebut menjadi salah satu contoh kecil dari peran teknologi digital yang menghasilkan efisiensi ekonomi dan keberlanjutan.
Amplifikasi dalam Investasi Digital
Efek dividen digital kian terlihat jelas berkat amplifikasi. Teknologi digital tidak dapat berkembang sendiri-sendiri–teknologi digital saling terkait. Peluncuran jaringan 5G, misalnya, tak sekadar meningkatkan konektivitas; namun juga memfasilitasi komputasi awan, aplikasi AI seketika, dan IoT berskala luas. Amplifikasi ini pun menciptakan siklus inovasi dan pertumbuhan.
Seiring dengan perkembangannya, teknologi ini menghasilkan data masif. Di negara-negara dengan perkembangan teknologi digital yang baik, data tersebut menjadi faktor produksi baru, mendorong kehadiran sistem AI yang kian mempercepat inovasi dan produktivitas. Dengan siklus yang bersifat self-enforcing, negara-negara dengan teknologi digital yang telah berkembang dengan baik dapat memperoleh nilai tambah yang lebih banyak pula, sejalan dengan peningkatan skor GDI.
Menutup Kesenjangan: Menempuh Aksi Nyata
Efek dividen digital menjadi tantangan sekaligus peluang. Bagi negara-negara Starter dan Adopter, efek dividen digital menyoroti pentingnya percepatan transformasi digital agar tidak tertinggal. Meski demikian, isu ini juga memiliki peta jalan yang meningkatkan pertumbuhan lewat empat faktor, yakni Intelligent World, Ubiquitous Connectivity, Digital Foundations, Energi Hijau, serta Kebijakan & Ekosistem Pendukung. Keempat faktor ini menjamin perkembangan teknologi digital berlangsung secara berkelanjutan dan berdaya tahan.
Negara-negara Starter harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur konektivitas yang baik–baik fixed broadband dan mobile broadband. Menurut riset, negara-negara yang memiliki keunggulan tersebut (kecepatan jaringan fixed broadband >150 Mbps dan mobile broadband >80 Mbps) memiliki transaksi e-commerce per kapita yang lebih tinggi sehingga merealisasikan potensi ekonomi digital yang kian besar.
Indonesia, tergolong negara Starter dalam skor GDI, baru saja merampungkan inisiatif pengembangan serat optik nasional. Inisiatif ini menyediakan akses internet bagi hampir enam juta orang di 57 kota dan kecamatan dengan tambahan 16,4 juta jiwa lain. Jaringan 4G di Indonesia menjangkau lebih dari 94% kota dan desa, sedangkan tingkat penetrasi internet di negara ini tercatat 79,5%. Berkat pembangunan terarah, Indonesia menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara. Pada 2023, ekonomi digital Indonesia mencapai nilai US$82 miliar, bahkan negara ini memiliki lebih dari 15 usaha rintisan dengan valuasi di atas $1 miliar. Pada 2030, nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus $210 miliar.
Negara-negara adopter harus mengutamakan konektivitas dan landasan digital. Maka, investasi pusat data, layanan komputasi awan, dan AI dapat membantu negara-negara ini mempercepat perkembangan teknologi digital. Rencana ekspansi pusat data Meksiko mencerminkan pendekatan tersebut. Pada 2029, Meksiko menargetkan pembangunan 73 pusat data baru, melengkapi 15 pusat data yang telah ada. Inisiatif ini diperkirakan meningkatkan PDB nasional Meksiko, serta menciptakan 68.198 lapangan pekerjaan, baik secara langsung dan tidak langsung. Investasi terarah dalam infrastruktur digital menunjukkan, negara-negara Adopter dapat memanfaatkan teknologi untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor penting.
Bagi negara-negara Frontrunner, tantangannya adalah mempertahankan daya saing. Artinya, investasi berkesinambungan terhadap teknologi mutakhir harus tetap ditempuh. Di sisi lain, SDM dan kebijakan juga harus dikembangkan demi memanfaatkan inovasi. Menurut data GDI, meski porsi lulusan bidang STEM terlihat sama di seluruh klaster (sekitar 25%), namun negara-negara Frontrunner berhasil mengalihkan 95% lulusan ini menjadi praktisi TIK dibandingkan 15% di negara-negara Starter.
Masa Depan Ekonomi Digital
Ke depan, teknologi-teknologi baru seperti komputasi kuantum dan sistem AI canggih akan terus memperkuat efek dividen digital. Teknologi tersebut berpotensi menjawab masalah kompleks di berbagai bidang, mulai dari pengembangan obat-obatan hingga pembuatan model iklim, sehingga menjadi faktor penggerak baru dalam pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, infrastruktur digital pun kian berperan besar menjamin daya tahan ekonomi. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan, negara-negara dengan tingkat perkembangan teknologi digital yang baik lebih mampu mengatasi disrupsi, mempertahankan aktivitas ekonomi lewat metode kerja jarak jauh (remote work), pembelajaran jarak jauh, serta layanan digital.
Keputusan yang diambil hari ini untuk masa depan digital kelak menentukan arah perkembangan berbagai negara pada beberapa dekade mendatang. Efek dividen digital menuntut upaya masif dalam perlombaan menuju teknologi digital–namun, potensinya pun sangat besar.