Scroll untuk baca artikel
Headline

Bappenas Sebut Butuh Waktu 7-10 Tahun Untuk Implementasikan Zero ODOL

2
×

Bappenas Sebut Butuh Waktu 7-10 Tahun Untuk Implementasikan Zero ODOL

Sebarkan artikel ini
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan waktu yang diperlukan untuk mencapai implementasi penuh kebijakan Zero Over Dimension Overloading (ODOL) di Indonesia adalah sekitar 7-10 tahun atau bahkan lebih. Itu juga asal dilakukan dengan asumsi komitmen politik yang kuat dan konsisten, serta partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan

BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan waktu yang diperlukan untuk mencapai implementasi penuh kebijakan Zero Over Dimension Overloading (ODOL) di Indonesia adalah sekitar 7-10 tahun atau bahkan lebih. Itu juga asal dilakukan dengan asumsi komitmen politik yang kuat dan konsisten, serta partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan.

Kasubdit Transportasi Darat dan Perkeretaapian Bappenas, Dail Umamil Asri, mengatakan hingga saat ini belum ada solusi komprehensif dan tuntas yang berarti dalam menyelesaikan masalah ODOL di Indonesia. Menurutnya, diperlukan koordinasi tim yang ketat dan tangguh serta militan lintas sektor untuk mengatasinya. Solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ODOL ini juga harus bersifat “win win”. “Harus ada desain baru kendaraan berat dengan banyak gandar serta ada kebijakan untuk meningkatkan kualitas konstruksi jalan dengan tekanan gandar yang lebih besar dari 10 ton,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.

Dia juga menyarankan agar penyelesaian masalah truk ODOL ini dilakukan secara terencana, mulai rencana jangka pendek (1-2 tahun), jangka menengah (3-5 tahun), dan jangka panjang (di atas 5 tahun). “Dalam jangka pendek itu digunakan untuk penguatan regulasi, uji coba di daerah percontohan, pengembangan infrastruktur pengawasan awal, dan sosialisasi intensif,” katanya.

Baca Juga :   Harga Bahan Pokok Stabil, Stok Aman

Sementera, dalam jangka menengah, menurutnya, dilakukan implementasi bertahap di seluruh Indonesia, transformasi armada, dan pengembangan infrastruktur pendukung yang lebih luas. Sedang untuk jangka panjang, digunakan untuk konsolidasi dan transformasi sistem logistik nasional secara menyeluruh, termasuk adopsi teknologi baru dan reformasi pengalaman sebelumnya dengan penundaan-penundaan yang terjadi.

Disampaikan, ODOL ini merupakan permasalahan multi sektor dan multi dimensi dan melibatkan berbagai stakeholder yang menjadi pemangku regulasi serta juga stakeholder yang menjadi ekosistem pelaku ODOL itu sendiri. Menurutnya, kompleksitas masalah pembebanan berlebih ini terletak di institusi yang berbeda-beda dan yang bertanggung jawab atas berbagai faktor penyebab. Diantaranya, desain kendaraan berat dengan jumlah tekanan gandar dan jumlah roda penggeraknya, standar desain jalan, tekanan gandar, kekuatan konstruksi dan biaya pemeliharaannya, tanggung jawab penegakan hukum dan peraturannya, industri perkebunan, kehutanan, dan pertambangan yang menggunakan kendaraan beratnya, serta pemerintah daerah yang cenderung mengabaikannya.

Dia mengutarakan truk besar dan kontainer dengan beban gandar jauh melebihi beban gandar standar 8 dan 10 ton dinilai telah menyebabkan kerusakan jalan dan mengurangi secara signifikan usia pelayanan jalan. “Namun, disisi lain, jalan di Indonesia memiliki batas beban gandar kendaraan (axle load) yang masih rendah menurut standar internasional dan sistem jalannya tidak dapat mencapai keseimbangan optimal antara biaya operasi kendaraan, yang turun karena beban gandar meningkat, dan pemeliharaan dan biaya preservasi jalan yang meningkat saat beban gandar meningkat,” katanya.

Baca Juga :   Aptrindo Usul MST Jalan Dinaikkan Sebelum Terapkan Zero ODOL

Dia mengatakan Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) bertanggung jawab untuk menyediakan dan memelihara jalan nasional agar tetap berfungsi baik melayani ekonomi, tetapi tidak memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan batas beban gandar dan melakukan penegakan hukum atasnya. Sementara, lanjutnya, pemeliharaan jalan provinsi dan lokal adalah tanggung jawab unit pemerintah daerah masing-masing.

Upaya untuk mengurangi beban jalan yang berlebihan dengan mengimplementasikan pengendalian beban kendaraan di beberapa titik di jaringan dengan jembatan timbang, menurutnya, juga tidak berhasil menghilangkan atau bahkan mengurangi ODOL. Disampaikan, Indonesia memiliki lebih dari 100 stasiun jembatan timbang, namun tidak efektif mengurangi pembebanan berlebih. Menurutnya, masalahnya bukan terletak pada satu institusi kementerian saja, namun melibatkan juga institusi lain seperti Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Kepolisian, Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah. “Hasilnya adalah penegakan hukum yang tidak konsisten dan masih terbukanya peluang untuk terjadinya pelanggaran di lapangan,” tuturnya.

Dia mengatakan jaringan jalan sepanjang lebih dari 530.000 km yang dibangun di negeri ini selama beberapa dekade terakhir seharusnya memberikan dasar yang kokoh dan kuat bagi pembangunan ekonomi dan sosial bangsa. Namun, menurutnya, selama beberapa dekade terakhir, jaringan ini menderita kelebihan beban yang ekstrim dan dana pemeliharaan yang tidak mencukupi.

Baca Juga :   Grab Dukung Ratusan Womenpreneur lewat Wanita Bisa Jadi Juragan 2025

“Ini adalah masalah yang masih terus berlanjut di Indonesia, dan sejauh ini belum ada rumusan formulasi yang tepat yang disepakati oleh berbagai institusi untuk menyelesaikannya,” katanya.

Menurutnya, pengembangan kawasan-kawasan industri, perkebunan, pertambangan, food estate serta kebutuhan akan jaringan konektivitas dan infrastruktur logistik pada koridor ekonomi utama juga diperlukan. “Ini membawa tantangan dan peluang untuk pembangunan jalan dan investasi dalam hal penyediaan jaringan jalan di sepanjang koridor dengan kapasitas tinggi dan kualitas tinggi,” ucapnya.

Perencanaan konektivitas dan infrastruktur logistik juga perlu seperti perencanaan jalan, pengembangan, investasi, dan program pembiayaan. Menurutnya, saat ini belum ada rencana induk transportasi terpadu yang legitimated yang dapat memberikan referensi nasional tentang intermodalism dan sistem transportasi yang terpadu dan efisien di negara ini. “Jadi, Indonesia tidak boleh lagi membuat dokumen perencanaan nasional dan dengan cepat menjadi usang setelah satu atau dua tahun hanya karena tidak memperhitungkan inisiatif kebijakan terbaru yang diluncurkan oleh pemerintah dan gagal untuk melihat kecenderungan dan fenomena jangka panjang,” katanya.