Produk inovatif lainnya sedang dalam tahap pengembangan, namun menghadapi proses persetujuan yang mahal dan berbelit. Jika disederhanakan dan dibuat lebih efisien, hal itu dapat membantu Indonesia memaksimalkan potensi riset, pengembangan, dan produksi bioteknologi.
“Sekarang, Indonesia berfokus pada ketahanan pangan, peningkatan produksi pertanian, dan tentu saja, gizi,” ujar KUAI Merritt.
“Ada banyak aspek dalam peningkatan ketiga hal tersebut, mulai dari memperlancar perdagangan antar dan intraregional, memodernisasi peralatan pertanian, hingga menciptakan varietas tanaman baru melalui bioteknologi tercanggih. Di akhir acara ini, kami berharap Anda semua dapat melihat peluang untuk turut berkontribusi dalam mempercepat kemajuan bioteknologi Indonesia,” katanya.

Kuasa Usaha Merritt mengunjungi stan kentang tahan hawar daun pada Pameran Bioteknologi Pertanian Indonesia.
Dalam acara tersebut, KUAI Merritt berkesempatan mengunjungi enam stan tempat para tamu dapat mempelajari lebih lanjut tentang produk GE yang saat ini tersedia di Indonesia atau yang masih dalam tahap riset dan pengembangan.
Lima produk Indonesia yang dipamerkan antara lain jagung tahan hama, tebu tahan kekeringan, kentang tahan hawar daun, beras bervitamin A, dan lele cepat panen, di samping kedelai dari AS. Amerika Serikat adalah pemasok andal untuk banyak produk GE yang dibutuhkan sektor pangan dan tekstil Indonesia sebagai bahan baku untuk mengembangkan industrinya, seperti kapas, bahan pakan ternak, dan kedelai.
Dalam sesi panel, para peneliti membahas perjalanan setiap produk – dari proses riset dan pengembangan hingga proses persetujuannya – serta tantangan yang dihadapi.
Salah satu yang disorot adalah kentang tahan hawar daun yang merupakan kolaborasi antara sejumlah universitas di AS, termasuk Michigan State University, dengan Kementerian Pertanian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dimulai pada 2006 dan akhirnya disetujui sepenuhnya pada 2024.
Profesor David Douches dari Michigan State University memaparkan kerja sama ini dan menyampaikan, “Tujuan kami adalah menghadirkan kentang tahan hawar daun kepada para petani. Hawar daun adalah penyakit yang menyebabkan bencana kelaparan di Irlandia lebih dari 150 tahun lalu, dan masih menjadi masalah hingga kini.
Kita sekarang memiliki alat untuk mengakhiri hawar daun, penyakit yang merugikan miliaran dolar di seluruh dunia. Di Indonesia, di mana kondisinya sangat mendukung penyebaran hawar daun, petani bisa saja menyemprotkan fungisida hingga 20–30 kali per tahun hanya untuk mengendalikan tanaman.
Yang kami lakukan dengan bioteknologi adalah mengambil gen dari spesies liar kentang dan menggabungkan tiga gen tersebut dalam satu varietas kentang agar tahan terhadap penyakit hawar daun.
Kentang tahan hawar daun ini adalah produk yang aman dan memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat.” Varietas dengan tiga gen ini, yang masih dalam tahap pengembangan sambil menunggu pendanaan tambahan, berpotensi memangkas penggunaan fungisida hingga 90 persen.

Stan kedelai asal Amerika Serikat pada Pameran Bioteknologi Pertanian Indonesia.
Para ahli gizi juga memaparkan manfaat gizi dari produk-produk bioteknologi. Kedelai GE dari berbagai negara, khususnya dari Amerika Serikat, menyediakan pasokan protein berkualitas tinggi dan terjangkau yang andal bagi masyarakat Indonesia.
Beras bervitamin A, yang dikenal sebagai beras emas, menunjukkan bahwa bioteknologi bahkan bisa digunakan untuk meningkatkan nilai gizi produk pangan pokok seperti beras.
Beras emas dapat membantu Indonesia mengurangi prevalensi kekurangan vitamin A yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan penurunan daya tahan tubuh. Acara ini juga menampilkan demo memasak oleh Chef Giovani Vergio yang mengolah tiga hidangan menggunakan kentang GE asal Indonesia dan kedelai GE asal AS, yang kemudian dapat dicicipi oleh para hadirin.
Acara ditutup dengan sesi panel petani yang memiliki pengalaman dalam membudidayakan tanaman GE.
Seorang petani jagung GE dari Filipina ikut serta secara daring, sementara tiga petani Indonesia datang langsung dari Lumajang, Bandung, dan Sumbawa untuk berbagi pengalaman mereka dalam menanam tebu, kentang, dan jagung GE. Para petani ini menerima banyak pertanyaan dari audiens yang terdiri dari pejabat pemerintah Indonesia dari beberapa lembaga pemerintah, serta pemangku kepentingan non-pemerintah di bidang pangan dan pertanian, dan juga mahasiswa.
Ketua KKH, Bambang Prasetya, menekankan pentingnya proses antarlembaga yang transparan untuk menyetujui setiap produk GE yang beredar di Indonesia, meskipun masih banyak efisiensi yang bisa diperoleh dengan dukungan lebih besar dari Pemerintah Indonesia.
Dalam sambutannya di acara tersebut dan setelah menjelaskan proses persetujuan yang panjang dan berbelit yang terjadi saat ini dan melibatkan banyak tahapan di berbagai lembaga pemerintah, dia mendesak para pejabat pemerintah yang hadir untuk “mempermudah regulasi agar proses persetujuan [produk GE] menjadi lebih lancar, karena hal itu sejalan dengan prioritas Presiden Prabowo untuk mempercepat ketahanan pangan Indonesia.”
Di kawasan ASEAN, Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga setelah Filipina dan Vietnam dalam hal inovasi bioteknologi. Dengan regulasi yang lebih efisien serta dukungan dan kolaborasi yang ditingkatkan, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin kawasan dalam penerimaan bioteknologi.