Scroll untuk baca artikel
Industri

Tekanan Tarif dan Tantangan Makro Jadi Ujian Baru bagi Ekonomi Indonesia 2025

25
×

Tekanan Tarif dan Tantangan Makro Jadi Ujian Baru bagi Ekonomi Indonesia 2025

Sebarkan artikel ini
Bank DBS Indonesia - DBS Bank Ltd (Bank DBS) hari ini mengumumkan gelar "Safest Bank in Asia" yang diraih dari majalah industri asal New York Global Finance

BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Perekonomian Indonesia pada awal 2025 menghadapi tantangan ganda: tekanan eksternal dari tarif dagang global dan kondisi makroekonomi domestik yang melemah. Kondisi fiskal triwulan pertama tahun ini mencatat defisit -0,4% dari PDB, lebih awal dari tren defisit di tahun-tahun sebelumnya. Pendapatan negara merosot hingga 13,6% (yoy), sebagian akibat kendala implementasi sistem pajak baru, Coretax, dan menurunnya konsumsi masyarakat.

Kinerja pengeluaran juga belum menunjukkan penguatan signifikan, hanya tumbuh 1,4% (yoy), seiring lambatnya pencairan program kesejahteraan dan efisiensi belanja kementerian. Penyesuaian asumsi makro dalam APBN pun mulai dibutuhkan. Rupiah berada di atas Rp16.100/USD, lebih lemah dari asumsi, sementara harga minyak juga jauh di bawah target.

Di tengah tekanan fiskal, pemerintah meluncurkan badan investasi Danantara. Dengan menggandeng tokoh global seperti Ray Dalio dan Jeffrey Sachs sebagai penasihat, Danantara berambisi menarik investasi jumbo, termasuk rencana investasi USD 2 miliar dari Qatar.

Sementara itu, inflasi tetap rendah dengan rata-rata inflasi inti triwulan pertama sebesar 2,4%, di bawah target Bank Indonesia (1,5–3,5%). Namun, kenaikan harga terkait kebijakan satu kali seperti subsidi transportasi tetap perlu dicermati. DBS Group Research memperkirakan inflasi akan naik di semester kedua meskipun proyeksi setahun penuh diturunkan menjadi 1,7%.

Baca Juga :   Proyek Hybrid Green Ammonia Pertama Dunia Akan Dibangun di Indonesia

Bank Indonesia diperkirakan mempertahankan pendekatan hati-hati, memantau pelemahan rupiah—terburuk di kawasan Asia (-3,9% YTD)—dan kemungkinan pelonggaran suku bunga jika tekanan global mereda.

Dari sisi eksternal, neraca transaksi berjalan diprediksi tetap defisit moderat -0,8% PDB, ditopang aliran investasi langsung asing (FDI) yang kuat meski melambat. Cadangan devisa pun mencetak rekor tertinggi USD 157,1 miliar per Maret 2025.

Namun, bayang-bayang perang tarif membebani outlook ekonomi. AS mengancam tarif hingga 32% untuk produk Indonesia, berdampak besar pada industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur. Meski ekspor ke AS hanya 2% dari PDB, efek lanjutan bisa signifikan terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja.

Baca Juga :   Bank Indonesia Tegaskan Stabilitas Rupiah Terjaga

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah mengupayakan diplomasi dagang. Delegasi tingkat tinggi akan bertolak ke AS, menawarkan peningkatan pembelian LPG dan kemungkinan investasi BUMN Indonesia di sana. Konsesi tambahan mencakup penurunan tarif PPh impor, bea masuk produk AS, dan bea keluar sawit.

Kombinasi dari tekanan eksternal dan perlambatan domestik membuat tahun 2025 menjadi ujian penting bagi stabilitas dan arah kebijakan ekonomi nasional. Penguatan reformasi fiskal dan ketepatan dalam menjaga daya saing menjadi kunci agar Indonesia mampu tetap tumbuh di tengah gejolak global.