BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Apakah ada kiat khusus untuk lepas dari jeratan dan teror pinjol bagi korban ? Pertanyaan ini selalu menghantui para korban pinjol ilegal, ketika teror menerpa diri, keluarga dan para kontak yang ada dalam handphonenya.
Teror mental dari pemberi pinjol hingga menumbuhkan rasa malu si korban menjadi bagian tak terpisahkan ketika seorang korban tidak mampu mengembalikan uang pinjamannya.
Sementara besarnya pinjaman semakin membengkak seiring dengan bertambahnya bunga pinjam yang tak terbayarkan.
Lama-lama, pinjaman itu mencekik leher dan tidak sedikir mendorong jalan pintas para korban untuk menyelesaikan.
Untuk menyelamatkan diri, si korban biasanya mencoba meminjam uang untuk menutupi pinjolnya yang menurut pakar tidak mungkin akan bisa diselesaikan.
Dan mereka yang tidak mampu membayar, dalam berbagai kasus, percobaan bunuh diri dianggap sebagai jalan keluar.
Dengan mengusung thema „WASPADA PIJOL“, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dalam temu pastoralnya memberikan pencerahannya kepada para pastor kepala paroki (Temu Pastores KAJ) untuk dapat membantu umatnya yang menjadi korban pinjol.
Pencerahan yang diikuti sekitar 150an pastor ini diadakan di Aula Grha Pemuda Katedral Jakarta, Rabu (11/09/2024).
Hadir sebagai pembicara dari PT Finansial Integrasi Teknologi (Pinjam Modal) Herman Handoko (Chief Executive Officer/CEO) dan Ichwan (Chief Information Officer/CIO). Hadir pula Uskup Agung KAJ Mgr Ignatius Kardinal Ignatius Suharyo, Vikjen KAJ Rm Samuel Pangestu, Sekretaris KAJ Rm Adi Prasojo Pr.
Munculnya pinjol dilatarbelakangi kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19.
Namun maraknya pinjol ini diperparah dengan perilaku masyarakat digital yang konsumtif di satu sisi, lemahnya regulasi terkait sistem pengawasan hingga penegakan hukum terhadap perusahaan yang curang di sisi lain.
Dan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah, termasuk para umat masing-masing paroki. Mereka yang menjadi korban, karena merasa tidak mampu keluar dari jerat dan teror pinjol illegal, akhirnya lari ke gereja untuk meminta bantuan.
“Fintech atau pinjol sebenarnya sangat membantu masyarakat karena dia merupakan penyelenggara pelayanan jasa keuangan yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dengan berbasis elektronik, artinya semua proses baik pengajuan maupun, pencairannya bersifat online. Cuma belakangan image-nya negatif karena fintech dari luar terutama dari China karena di negaranya sudah ditutup menyerbu ke Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, termasuk Indonesia,” tutur Herman.
Menurut Herman, tidak jadi masalah selama fintech itu legal atau terdaftar di Otoritas Jasa Keuangn (OJK). Problem muncul ketika pinjol tersebut ilegal dan banyak memakan korban. “Tidak mudah memberantasnya. Ditutup satu muncul lagi yang lain, dia bisa buat lagi yang baru dengan baju baru,” ujarnya.
Perbedaan pinjol legal dan illegal, menurut Herman, terkait dengan kepemilikan ijin resmi dari OJK atau tidak. Pinjol legal, urainya, terdaftar dan memiliki izin resmi dari OJK. Pemberian pinjaman melalui tahap analisa. Akses hanya mengizinkan akses kamera, mikrofon, dan lokasi. Transparansi bunga atau biaya pinjaman sesuai aturan. Penagihan beretika, dan sesuai standar OJK. Terakhir, memiliki layanan pengaduan dan identitas kantor yang jelas.
Sementara, pinjol illegal, lanjut Herman, ciri-cirinya, adalah tidak terdaftar di OJK.
Penawaran menggunakan SMS/WA. Meminta akses ke seluruh data yang ada di ponsel. Bunga atau biaya pinjaman tidak terbatas.
Penagihan tidak beretika termasuk melakukan terror psikis. Tidak memiliki layanan pengaduan dan identitas kantor yang jelas.
“Modus pinjol ilegal biasanya penawaran dilakukan melalui WA atau SMS. Kemudian, langsung transfer ke rekening korban atau salah transfer.
Mereka juga beriklan di media sosial Facebook, dan bernama mirip pinjol legal. Dan, yang aneh meminta transfer uang di depan sebelum pinjaman disetujui,” jelas Herman.