BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Alih-alih mengambil langkah balasan (retaliatory) terhadap kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang berlaku mulai 9 April 2025, Pemerintah Indonesia memprioritaskan diplomasi ekonomi dan perluasan pasar ekspor ke Eropa.
Langkah ini diambil untuk meminimalkan dampak negatif sekaligus membuka peluang baru bagi industri dalam negeri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, Indonesia memilih pendekatan dialog melalui United States Trade Representative (USTR) dan U.S. Chamber of Commerce.
“Kami ingin memastikan kebijakan tarif tidak merusak hubungan dagang bilateral yang telah dibangun puluhan tahun,” ujarnya dalam rapat terbatas virtual seperti dikutip dari Infopublik.id, Minggu (6/4/2025).
Pemerintah juga berkoordinasi dengan asosiasi industri untuk menyusun strategi responsif, terutama bagi sektor rentan seperti apparel dan alas kaki yang menyumbang 12% ekspor non-migas ke AS.
Dukungan insentif dan percepatan deregulasi akan diberikan untuk menjaga daya saing produk Indonesia.
Antisipasi Dampak dengan Diversifikasi Pasar
Selain negosiasi, Indonesia menyiapkan strategi jitu: memperkuat penetrasi pasar Eropa yang menjadi tujuan ekspor terbesar kedua setelah China.
“Pasar Eropa potensial untuk produk tekstil, elektronik, dan kelapa sawit berkelanjutan. Ini alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada AS,” tegas Airlangga.
Langkah konkretnya meliputi Percepatan perjanjian dagang dengan Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA), sosialisasi kebijakan tarif AS kepada pelaku usaha (7/4/2025) untuk memetakan risiko dan optimalisasi skema insentif fiskal bagi industri berorientasi ekspor.
Produk yang Terkena dan Dikecualikan
Kebijakan tarif AS tidak berlaku untuk barang medis dan kemanusiaan, produk strategis seperti semikonduktor, tembaga, dan logam mulia dan energi dan mineral yang langka di AS.
Sementara itu, produk baja, aluminium, dan otomotif tetap menjadi sorotan utama.
Pemerintah akan memantau dampaknya terhadap neraca perdagangan dan APBN.
Menko Airlangga menekankan, pelibatan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan adalah kunci. “Kami undang industri besok untuk mendengar langsung tantangan mereka. Sektor padat karya harus tetap kompetitif,” jelasnya.