Scroll untuk baca artikel
Finansial

Tarif Pajak Kripto di Indonesia: Rendah, Tapi Masih Perlu Perbaikan?

28
×

Tarif Pajak Kripto di Indonesia: Rendah, Tapi Masih Perlu Perbaikan?

Sebarkan artikel ini
Oscar Darmawan

BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA  – Regulasi pajak aset kripto di Indonesia kembali menjadi sorotan, terutama terkait penerapan pajak pada airdrop serta transaksi di luar negeri.

CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menegaskan bahwa meskipun aturan pajak kripto telah berlaku sejak 2022, tantangan dalam implementasi masih ada, khususnya terkait pajak transaksi luar negeri dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Aset kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 setelah diklasifikasikan sebagai komoditas legal berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan. Antara 2017-2022, pajak atas kripto bersifat self-reporting, di mana pendapatan dari kripto dilaporkan dalam SPT dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) progresif.

Sejak 2022, pemerintah menerapkan pajak final untuk transaksi kripto di platform berizin, yakni PPh Final sebesar 0,1% dan PPN 0,11%. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto terendah di dunia.

Baca Juga :   INDODAX Patuhi Aturan Pajak Terbaru dan Dorong Kebijakan yang Lebih Ideal

Menurut Oscar Darmawan, kebijakan ini lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berbasis keuntungan. Di Amerika Serikat, misalnya, pajak atas keuntungan aset kripto bisa mencapai 40%, sementara di Eropa dapat mencapai 50%. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah, transaksi kripto bebas pajak.

Meski tarif pajak di Indonesia lebih rendah, skema pajak final dinilai kurang ideal karena tetap berlaku meski trader mengalami kerugian. Selain itu, trader yang menggunakan exchange luar negeri menghadapi kesulitan dalam pelaporan pajak karena belum ada sistem pemungutan pajak yang jelas untuk transaksi di platform asing.

Oscar menyoroti bahwa pajak turut memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal. “Sebagian besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak,” ujarnya. Ia berharap revisi PMK 68 dapat menghapus PPN agar biaya transaksi lebih kompetitif dan mendorong adopsi kripto di Indonesia.

Baca Juga :   Aktif Lakukan Literasi dan Inklusi Keuangan, BNI Raih Penghargaan Bergengsi dari OJK

Untuk transaksi di exchange luar negeri yang belum memiliki izin OJK, PMK 68 mengatur bahwa PPh final yang dikenakan adalah 0,2%, atau dua kali lipat dari exchange berizin. Namun, implementasi aturan ini masih menghadapi kendala.

“Seharusnya exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Tetapi karena belum ada mekanisme pemungutan pajak oleh exchange luar, akhirnya trader harus melaporkan sendiri,” jelas Oscar. Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak.

Oscar menyarankan agar trader yang bertransaksi di exchange luar negeri berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak masing-masing. “Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak yang bisa diajak berdiskusi mengenai pembayaran pajak kripto sesuai regulasi,” tambahnya.

Baca Juga :   Matrixdock Integrasikan Token Emas XAUm dengan Binance Wallet untuk Meningkatkan Kesetaraan Finansial

Menurut Oscar, skema pajak final sudah cukup baik, tetapi ada ruang untuk perbaikan, terutama terkait PPN. Ia menilai bahwa karena aset kripto kini berada di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.

Jika PPN dihapus, biaya transaksi akan lebih kompetitif, mendorong lebih banyak investor bertransaksi di dalam negeri ketimbang menggunakan platform luar negeri. Pada akhirnya, pendapatan negara dari PPh berpotensi meningkat.

Dengan berkembangnya industri kripto di Indonesia, regulasi pajak yang lebih fleksibel diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekosistem tanpa membebani investor dan trader. “Sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN,” tegas Oscar. Namun, hingga PMK 68 direvisi, PPN tetap berlaku.