BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Jaringan Masyarakat Sipil Pemerhati Isu Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia mendapatkan informasi terkait adanya kapal berisi 150 orang pengungsi Rohingya yang saat ini terombang-ambing di perairan mendekati Indonesia. Berdasarkan informasi yang dihimpun pada Rabu (21/12), kapal tersebut berada dalam situasi darurat dan terombang-ambing di sekitar perairan Indonesia dan bergerak mendekati wilayah Aceh dengan tidak adanya ketersediaan logistik dasar yang mencukupi serta kondisi kesehatan yang memprihatinkan.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) telah memanggil negara-negara sekitar untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap kapal pengungsi Rohingya tersebut yang telah terombang-ambing selama beberapa minggu karena adanya kerusakan pada mesin kapal. Hingga rilis pers ini dibuat, belum terlihat langkah serta inisiatif konkrit dari negara-negara sekitar dalam melakukan tindakan penyelamatan.
Dalam hal ini, Indonesia menjadi negara yang juga berkewajiban untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap kapal pengungsi Rohingya yang saat ini terombang-ambing di perairan Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 Perpres No. 125 Tahun 2016, Pemerintah berkewajiban untuk melakukan koordinasi sebagai tindakan penemuan pengungsi dalam keadaan darurat. Payung hukum tersebut menjadi kerangka hukum nasional fundamental dalam pelaksanaan tindakan penyelamatan mengingat adanya pengaturan spesifik terkait hal ini. Terlebih, Indonesia telah memiliki pengalaman dalam proses penyelamatan kapal pengungsi Rohingya pada pertengahan November lalu. Selain itu, Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia telah terikat dengan kewajiban penyelamatan kapal dalam keadaan darurat. Kewajiban ini telah teregulasi melalui beberapa Konvensi tertulis yang telah diratifikasi oleh Indonesia seperti Konvensi Hukum Laut PBB / UNCLOS dan Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Penyelamatan Maritim / SAR Convention. Ketentuan-ketentuan ini secara tegas mengikat Indonesia sebagai negara peratifikasi untuk segera melakukan tindakan penyelamatan terhadap kapal pengungsi Rohingya yang saat ini terombang-ambing di perairan Indonesia. Kondisi dan kerentanan yang dialami kian memperjelas situasi “kesulitan” sebagai elemen utama dalam pelaksanaan kewajiban negara dalam penyelamatan kapal menurut hukum internasional yang membuat pengikatan kewajiban hukum dalam situasi ini tidak lagi dalam skala nasional, namun telah menembus skala internasional.
Oleh karena itu, kami masyarakat sipil mendesak Pemerintah Pusat termasuk diantaranya adalah Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (Satgas PPLN) untuk melakukan tindakan penemuan dan penyelamatan sesuai kewajiban hukum di tingkat nasional dan internasional, melakukan koordinasi serta tindakan terkoordinir dalam hal penyelamatan kapal, serta menyediakan kebutuhan dasar berbasis kemanusiaan dalam proses penemuan dan penyelamatan dan ketibaan kapal pengungsi Rohingya. Satgas PPLN untuk segera membangun koordinasi baik dengan Pemerintah Aceh maupun Institusi keamanan untuk segera mengambil langkah-langkah dalam upaya penyelamatan pengungsi Rohingya dengan lebih mengutamakan pendekatan kemanusian daripada pendekatan keamanan sebagaimana pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pemerintah pusat harus juga mampu memastikan ketersedian anggaran yang dialokasikan dari pusat untuk proses penyelamatan serta memastikan daerah untuk menyediakan tempat yang sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.(BA-06)