BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Perkumpulan SUAKA melaksanakan Diskusi Publik dan Peluncuran Studi Dasar Survei Kebutuhan Hukum Pengungsi (refugee) di Indonesia pada 31 Oktober 2022 secara daring. Survei ini dilakukan untuk memetakan permasalahan hukum yang dihadapi oleh refugee selama berada di Indonesia dan bagaimana refugee merespon atau menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi.
Refugee merupakan kelompok rentan yang juga merupakan subjek hukum, pencari keadilan, dan penerima bantuan hukum. Selama tahun 2022 (per September), SUAKA telah menerima 99 pengaduan oleh refugee. Masih banyak permasalahan hukum yang tidak diadukan kepada organisasi bantuan hukum. “Sebagai organisasi bantuan hukum yang sudah bekerja dari tahun 2012, kami melihat bahwa mereka (pengungsi) akan lama, bahkan sudah ada yang lama – lebih dari 10 tahun, tinggal di Indonesia. Melihat terbatasnya pemenuhan hak terhadap pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dan banyaknya pihak yang tidak memahami isu ini, kami merasa survei ini penting untuk melihat apakah mereka sebenarnya sadar ketika mereka menghadapi permasalahan hukum, bagaimana mereka menyelesaikannya, apakah mereka membutuhkan bantuan orang atau lembaga lain, ataukah mereka sudah paham akan hal tersebut”, ujar Ketua Perkumpulan SUAKA, Atika Yuanita Paraswaty.
Survei dilakukan dengan mengambil data pada lima kota dimana jumlah komunitas pengungsi dalam jumlah cukup besar berada. Kota-kota tersebut adalah Jakarta, Bogor, Medan, Pekanbaru, dan Makassar, dengan jumlah responden sebanyak 22 orang. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara oleh enumerator. Hasil survei menunjukkan bahwa permasalahan hukum dalam bidang sumber daya publik menjadi permasalahan utama yang dihadapi seluruh responden penelitian. Hal tersebut disusul oleh permasalahan konsumen (21 jawaban), perumahan (18 jawaban), dan kekerasan dari negara (17 jawaban). Respon pola perilaku responden dalam menceritakan masalah hukum menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih untuk menceritakan permasalahan hukum yang dihadapi
utamanya terhadap organisasi internasional (UNHCR). Dalam hal ini, hanya 1 dari 22 responden yang memilih untuk tidak menceritakan permasalahan hukum yang mereka hadapi. Lebih lanjutnya, UNHCR juga menjadi pihak utama yang dituju mayoritas responden (14 jawaban) dalam mencari bantuan hukum dibandingkan dengan keluarga atau teman yang bekerja di luar bidang hukum (11 jawaban) dan organisasi non pemerintah (6 jawaban).
Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH Apik, turut menjelaskan bahwa pelaporan kasus oleh pengungsi yang ditangani LBH Apik Jakarta dan Medan mayoritas merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Karena kami fokus ke gender-based violence, jadi memang banyaknya kasus-kasus tersebut. Yang pertama adalah KDRT. KDRT itu bisa terjadi oleh sesama refugees – suami istri, maupun antara refugees dengan WNI. Kemudian ada kasus kekerasan seksual yang terjadi pada orang dewasa maupun anak dan kasus perkawinan anak. Selain kasus pidana, ada juga permasalahan ketika mereka (pengungsi) menikah dengan WNI” ujarnya.
“Tentunya survei ini akan bermanfaat ketika ini dilakukan oleh rekan-rekan pemberi bantuan hukum khususnya. Tentunya ini bisa menjadi best practice untuk teman-teman yang lain bahwa ternyata di luar sana masih banyak juga yang belum tahu apa itu bantuan hukum, bagaimana cara mengakses bantuan hukum, dan pola mereka dalam mencari bantuan hukum. Hal ini cukup berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh IJRS dengan mayoritas responden yang tidak mau menggunakan (mengakses) bantuan hukum” ujar pembicara lain, Arsa Ilmi Budiarti, yang merupakan Knowledge Manager di Indonesia Judicial Research Society (IJRS). “Terlepas dari keterbatasan yang sudah disampaikan, ini adalah modal awal yang sangat baik dan luar biasa untuk pencatatan data-data hukum di Indonesia” lanjutnya.
Melalui peluncuran laporan ini, SUAKA berharap agar hasil studi dasar ini dapat berpengaruh bukan hanya bagi praktik pemberian bantuan hukum yang inklusif bagi kelompok rentan, namun juga efektif dalam kaitannya dengan proses pemberian bantuan hukum, serta terstruktur secara mekanistik sesuai dengan kebijakan bantuan hukum yang juga diharapkan dapat menjawab kerentanan kelompok rentan secara luas serta tidak diskriminatif. SUAKA kemudian juga berharap laporan ini dapat berkontribusi dalam perubahan kebijakan berbasis HAM yang semakin komprehensif baik di tingkat pusat dan daerah.(BA-06)