Johnson Controls Nilai Daya Saing sebagai Penggerak Utama bagi Perusahaan di Asia Tenggara yang Memprioritaskan Aspek Keberlanjutan

BISNISASIA.CO.ID, SINGAPURA – Johnson Controls (NYSE: JCI), pemimpin global di sektor gedung berteknologi pintar (smart building), sehat dan berkelanjutan, telah meluncurkan temuan dari riset global yang mengevaluasi perkembangan berbagai perusahaan dalam mencapai target-target keberlanjutan. Riset ini menunjukkan, aspek keberlanjutan kini menjadi prioritas utama dalam investasi bisnis di seluruh dunia.

Hal ini terlihat secara konsisten di seluruh wilayah, termasuk Asia Tenggara. Di wilayah tersebut, 70% dari 246 pemimpin bisnis yang disurvei di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Thailand memprioritaskan aspek keberlanjutan. Temuan riset ini berasal dari wawancara dan survei daring Forrester Consulting, lembaga yang ditugasi dan berkolaborasi dengan Johnson Controls. Riset ini menilai, daya saing menjadi penggerak utama di balik prioritas tersebut.

“Survei ini secara jelas menunjukkan sikap pemimpin bisnis di Asia Tenggara yang kini memprioritaskan aspek keberlanjutan. Di antara berbagai jenis inisiatif keberlanjutan yang tengah dijalankan, gedung dan tempat kerja yang hemat energi merupakan agenda terutama. Sebanyak 91% pemimpin bisnis menilai hal tersebut sebagai prioritas investasi dalam tiga tahun ke depan,” ujar Charles Lim, Leader, Asia Tenggara, Johnson Controls. “Lebih dari tiga perempat responden memiliki target penurunan emisi karbon sebesar 26% atau lebih pada portofolio gedungnya; dan, 11% responden ingin mencapai emisi nol karbon (net-zero) atau negatif (carbon negative).”

Meski berbagai perusahaan menyadari manfaat dari praktik keberlanjutan, banyak perusahaan belum mengetahui langkah awal untuk mempersiapkan transformasi bisnis penting tersebut. Lima kendala terbesar yang kini dihadapi perusahaan termasuk mengelola berbagai pihak yang terlibat, belum menyusun rencana strategis, belum memiliki mitra eksternal, memahami ketentuan dari kebijakan yang selalu berubah, serta kesulitan memperluas skala.

Survei tersebut juga menemukan, hanya 18% responden di Asia Tenggara memiliki perangkat lunak pelaporan ESG untuk mengukur perkembangan yang telah tercapai. Sementara, 41% responden menilai perusahaannya belum memiliki keahlian internal sehingga menghambat upaya memonitor emisi karbon secara efektif.

“Demi mencapai dekarbonisasi, perusahaan harus menyesuaikan prioritas dengan tuntutan banyak pemangku kepentingan, berkolaborasi dengan mitra untuk mengembangkan perencanaan aspek keberlanjutan secara transparan, serta mengidentifikasi metrik dan menggunakan perangkat yang dapat memantau perkembangan perusahaan,” jelas Mei Peng Hor, Business Development Director, Sustainable Infrastructure, Asia Pasifik, Johnson Controls. “Semakin banyak klien ingin mempermudah proses tersebut, dan mengalihkan komitmen keberlanjutan dan risiko untuk mencapai target kepada mitra eksternal yang memiliki kemampuan, skala, dan ekosistem. OpenBlue Net Zero Buildings as a Service dari Johnson Controls, misalnya, telah membantu University of Hawaii mengurangi penggunaan energi sebesar 80% di empat kampus, serta menghemat US$ 80 juta melalui proyek retrofit energi dan solusi energi terbarukan.”

Menurut survei global ini, Amerika Utara menjadi wilayah yang paling agresif dalam target penurunan target. Meski urgensi di sektor swasta semakin meningkat di Asia Tenggara, masih banyak langkah yang harus diambil. Publikasi “ASEAN State of Climate Change Report” menunjukkan, hingga kini, “masih terdapat kesenjangan besar dalam implementasi dan ambisi” dalam penurunan target emisi pada 2030 dan tren emisi karbon.(BA-06)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini