Otoritas Kehutanan: Ajukan Proses Legal Formal jika Masyarakat Mengklaim Tanah Adat di Kawasan HTI

BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Otoritas Kehutanan menyatakan bahwa secara hukum wilayah Natumingka masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL).

Atas status yang disandang tersebut, TPL selaku perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan diwajibkan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan. Sebaliknya, jika tidak melakukan kewajiban tersebut,maka status sebagai pengelola hutan akan dievaluasi.

Hal itu disampaikan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige Leonardo Sitorus menjawab pertanyaan mengenai perselisihan kawasan lahan yang diklaim sebagai hutan adat, antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor Kabupaten Toba dengan TPL.

“Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Hal tersebut juga diatur dalam SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” kata Leonardo Sitorus.

Leonardo menjelaskan SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 tahun 2014 yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.

Dalam perjalanannya, kementerian kembali mengeluarkan SK Menhut Nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam surat keputusan tersebut dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).

“Pemerintah juga mengeluarkan SK Menhut Nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara, yang isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga keamanan dan pengawasan,” tegasnya.

Menurut Leonardo Sitorus, pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Dari hasil investigasi diketahui bahwa kawasan tersebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.

Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait termasuk ke Poles Toba.

Terkait dengan klaim tanah adat di Desa Natumingka, KPH IV Balige merekomendasikan agar masyarakat yang mengklaim harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal.

Ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat.

”Atau bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan opung (nenek moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku,” jelas Leonardo Sitorus.

KPH IV Balige menyatakan selagi belum ada penetapan dari pihak yang berwenang atas status tanah adat, status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL.

Untuk mengatasi perselisihan tersebut, KPH IV Balige juga memberikan masukan kepada perusahaan dan masyarakat, yakni melaksanakan kegiatan kemitraan dengan pola tumpang sari atau sejenisnya yang sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan.

Dalam hal ini TPL melakukan kegiatan sesuai dengan hak serta kewajibannya, melakukan kemitraan dengan masyarakat dengan tidak mengganggu sejumlah situs yang telah diinventarisir oleh pihak KPH IV Balige.(BA-04)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini