BISNISASIA.CO.ID, JAKARTA – Investor global di pasar negara berkembang menjadi cemas karena imbal hasil surat utang Amerika Serikat (AS) meningkat saat kekhawatiran akan kenaikan inflasi. Baik pasar negara maju maupun pasar negara berkembang menyesuaikan tingkat imbal hasil mereka dan yang paling terdampak adalah obligasi negara-negara berkembang dengan imbal hasil tinggi. Hal ini dapat menyebabkan gejolak pasar, sama seperti pada 2013.
Namun, ekonom DBS berpendapat bahwa investor belum sepenuhnya mengapresiasi bahwa fundamental Indonesia, sekarang lebih tangguh. Ekonom DBS menekankan lima hal terpenting berikut:
Pertama, kepemilikan asing di pasar modal Indonesia telah menurun. Untuk obligasi pemerintah (government bonds), investor asing cenderung waspada dan mengurangi porsinya sejak pandemi terjadi di awal 2020. Kepemilikan asing saat ini sama dengan pada awal 2020, sekitar Rp 970 triliun. Namun, angka ini menutupi fakta bahwa secara persentase, kepemilikan asing telah menurun menjadi 24% dari 39% pada awal 2020. Secara relatif, proporsi kepemilikan asing atas obligasi pemerintah lebih tinggi pada akhir 2012 (33%), sesaat sebelum gejolak pasar terjadi ketika the Fed mengurangi program pembelian obligasi.
Kedua, peningkatan harga komoditas membantu neraca perdagangan Indonesia. Ada korelasi tinggi antara indeks CRB dan ekspor Indonesia. Secara lebih khusus, peningkatan harga batu bara dan minyak kelapa sawit menguntungkan, sementara peningkatan harga minyak tidak. Neraca perdagangan sudah positif, walaupun demikian, Ekonom DBS mengakui bahwa ini juga disebabkan oleh melemahnya permintaan impor di tengah kelesuan ekonomi domestik akibat COVID-19.
Ketiga, defisit anggaran yang terkendali. Pada 2020, upaya untuk mempercepat pengeluaran fiskal menyebabkan peningkatan pengeluaran sebesar 12,2% secara tahunan sementara pendapatan turun hingga -16,7% secara tahunan. Kendati demikian, defisit anggaran tahunan tetap melebar menjadi -6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedikit di bawah target, yang sebesar -6,3%. Sekitar 83% dana pemulihan ekonomi telah dicairkan dari total anggaran Rp695,2 triliun.
Keempat, valuasi masih menarik. Indikator Valuasi Tingkat Pengembalian Asia (Asia Rates Valuation Indicator, ARVI) menunjukkan bahwa IndoGB adalah salah satu dari dua obligasi pemerintah yang dinilai masih cukup murah jika dibandingkan dengan surat berharga pemerintah AS. Secara umum, imbal hasil pasar berkembang paling terdampak oleh gejolak pasar kali ini. Pandemi menyebabkan investor asing enggan kembali berinvestasi di aset pasar berkembang. Fenomena ini terjadi kemungkinan akibat pandangan bahwa pasar negara berkembang baru akan bisa mencapai taget vaksinasi secara nasional pada 2022, dibandingkan dengan pasar negara maju yang diperkirakan akan dapat memvaksinasi sebagian warganya pada triwulan ke-II 2021.
Kelima, imbal hasil IndoGB, yang relatif tinggi, menawarkan prospek imbal hasil absolut positif untuk pendapatan tetap pada tahun penuh tantangan ini. Ekonom DBS memperkirakan imbal hasil.
Secara keseluruhan, Ekonom DBS berpendapat bahwa investor asing telah mengabaikan aset pasar berkembang terlalu lama. Selain itu, Ekonom DBS juga berpendapat bahwa IndoGB terlihat menarik, terutama dengan imbal hasil untuk tenor 10 tahun, yang mendekati 7%.
Dalam hal tenor, Ekonom DBS berpendapat bahwa pasar modal telah menyiapkan pengetatan cukup besar untuk dua hingga tiga tahun mendatang, dan dalam prosesnya mempertajam kurva selisih obligasi jangka pendek dan obligasi jangka panjang. Ekonom DBS yakin IndoGB dengan tenor 3-4 tahun tetap menarik untuk investor dalam waktu lama.(BA-04)